Pemutusan kerja sama tanpa solusi lanjutan hanya menciptakan lebih banyak masalah baru. Pasien yang memerlukan layanan kritis, seperti hemodialisis atau kemoterapi, menjadi pihak paling terdampak.
Ketika mereka dipaksa mencari rumah sakit baru, bukan hanya waktu dan tenaga yang terbuang, tetapi juga risiko kesehatan yang meningkat.
Baca juga: KPK Ungkap Ada RS Ajukan Klaim Palsu Ke BPJS, Diduga Rugikan Negara Puluhan Miliar
Selain itu, rumah sakit pengganti kerap tidak cukup siap menampung lonjakan pasien. Bukankah ini menunjukkan kelemahan sistem yang seharusnya melindungi pasien?
Sanksi pada rumah sakit memang perlu, tetapi tidak boleh mengorbankan pasien yang justru paling membutuhkan perlindungan.
Di sisi lain, penurunan Bed Occupancy Rate (BOR) akibat pemutusan kerja sama sering kali berimbas pada nasib karyawan rumah sakit.
Dengan minimnya pasien, rumah sakit akan memangkas biaya operasional sehingga tenaga medis menjadi korban pertama.
Padahal, para tenaga medis tidak ikut serta dalam pengambilan keputusan manajemen, apalagi dalam praktik fraud. Dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya hanya menjalankan tugas merawat pasien sesuai sumpah profesi mereka.
Namun, ketika kerja sama diputus, mereka sering menjadi pihak yang pertama kehilangan pekerjaan.
Baca juga: Administrasi BPJS Tidak Boleh Hambat Keilmuan Dokter
Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, yang menjamin perlindungan hukum dan keamanan kerja bagi tenaga medis.
Menghukum mereka yang hanya menjalankan tugas adalah tindakan tidak adil. Bukankah yang seharusnya dihukum adalah manajemen rumah sakit yang rakus dan tidak bertanggung jawab?
Bagaimana kita bisa berbicara tentang peningkatan kualitas layanan kesehatan ketika mereka yang seharusnya melayani justru kehilangan penghidupan?
Kritik ini tentu tidak bermaksud menafikan upaya besar BPJS Kesehatan dalam menyediakan akses kesehatan universal. Program ini telah membantu jutaan rakyat Indonesia mendapatkan layanan kesehatan yang sebelumnya sulit dijangkau.
Namun, ke depannya, BPJS harus lebih realistis dalam menentukan plafon pembiayaan. Plafon yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mencegah konflik dengan rumah sakit.
Transparansi dan pengawasan juga harus menjadi prioritas BPJS Kesehatan. Sistem klaim harus diperbaiki, baik dari segi kecepatan maupun akurasi, agar rumah sakit tidak terjebak dalam kesulitan keuangan.
Selain itu, diperlukan sinergi yang lebih baik antara BPJS dan rumah sakit untuk mencegah kecurangan sejak awal. Membentuk tim "anti-fraud" atau komite pengawas di setiap rumah sakit bisa menjadi langkah awal yang konkret.
Pada akhirnya, pemutusan kerja sama bukanlah solusi jangka panjang. Sistem kesehatan yang sehat adalah sistem yang saling mendukung, bukan saling menghukum.
Rumah sakit harus kembali pada etika layanan kesehatan, sementara BPJS Kesehatan harus mengambil peran lebih besar dalam menciptakan ekosistem yang adil dan berkelanjutan.
Karena di balik setiap keputusan, ada pasien yang bergantung pada sistem ini, berharap untuk mendapatkan hak mereka atas kesehatan. Tanpa drama, tanpa diskriminasi, dan tanpa hambatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.