JAKARTA, KOMPAS.com - Siapa tak mengetahui cacar air? Sebagian besar orang pasti tahu jenis penyakit ini dan pernah mengalaminya, terutama saat masih anak-anak.
Cacar air disebabkan oleh virus Varicella zoster (VZV). Penyakit yang mudah menular ini ditandai oleh kemunculan ruam merah dan lepuhan berisi cairan yang menyebar ke seluruh tubuh.
Selain ruam, penderita biasanya mengalami demam, sakit kepala, lemas, dan gatal-gatal yang mengganggu.
Meski familier, banyak orang ternyata tak tahu bahwa virus Varicella zoster yang jadi penyebab cacar air tidak benar-benar hilang dari tubuh penderitanya.
Dokter (dr.) Dirga Sakti Rambe, M.Sc, Sp.PD, FRSPH selaku Internis dan Vaksinolog menjelaskan, meski sudah sembuh, Varicella zoster masih bersembunyi dan tetap hidup di dalam tubuh seseorang.
"Virusnya bersembunyi di tubuh kita selamanya. Jadi, walaupun sudah tidak kena cacar air, virusnya tetap ada sampai kita dewasa atau tua," ujar dr Dirga kepada Kompas.com di Imuni Sunter, Senin (2/12/2024).
Virus tersebut, tambah dr Dirga, bisa aktif kembali dan menyebabkan penyakit herpes zoster atau cacar api. Di Indonesia, penyakit ini juga dikenal dengan nama cacar ular atau dompo.
Cacar api umumnya diderita seseorang yang sudah berusia di atas 50 tahun karena penurunan sistem imun secara alamiah.
Dikutip dari laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), insiden herpes zoster bervariasi berdasarkan usia. Setidaknya, ditemukan 2-9 kasus cacar api per 1.000 penduduk setiap tahun.
Masih dari laman Kemenkes, berdasarkan penelitian di RS Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, pada 2019-2021, dari total 120 pasien cacar api, tingkat insidensi tertinggi pada kelompok usia 45-55 tahun.
Hasil yang hampir mirip juga ditemukan pada penelitian di RS Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta pada 2022-2024. Pada periode itu, ada 114 pasien didiagnosis cacar api. Rerata pasien di RS UGM berusia 54 tahun.
“Semakin bertambah usia, sistem kekebalan tubuh kita semakin melemah. Hal ini membuat virus yang tadinya tidur bisa aktif kembali," jelas dr Dirga.
Baca juga: 6 Gejala Cacar Api yang Perlu Diwaspadai, Bagaimana Cara Mengatasinya?
Berbeda dengan cacar air yang bisa muncul di seluruh tubuh, cacar api memiliki ciri khas.
Pada cacar api, ruam atau lepuhan hanya akan muncul pada satu sisi tubuh dan tidak menyeberang ke sisi lain.
Biasanya, ruam atau lepuhan itu juga terjadi di jalur saraf pada bagian tubuh penderitanya.
“Ruam pada cacar api itu membentuk pola bergaris karena mengikuti jalur saraf. Beda dengan cacar air yang bisa muncul di mana-mana,” ucap dr Dirga.
Penyakit cacar api, lanjut dr Dirga, bisa menular ke seseorang yang belum pernah terkena penyakit serupa ataupun belum membawa virus Varicella zoster.
Penderita cacar api biasanya akan merasakan gejala awal, seperti gatal, demam, sakit kepala, dan kesemutan atau mati rasa di area yang terdapat lepuhan.
Saat ruam mulai bertambah, penderita juga akan mengalami rasa sakit atau nyeri yang luar biasa.
"Paling sengsara dari cacar api itu bukan ruamnya, tetapi sakit dan nyerinya. Sebab, virusnya kan ngumpet dan menyerang saraf. Para pasien sering menggambarkan rasa sakitnya seperti disengat listrik atau dibakar," terang dr Dirga.
Rasa nyeri tersebut bisa berlanjut, meskipun ruam sudah sembuh. Kondisi nyeri itu disebut sebagai neuralgia pascaherpes (NPH).
Berdasarkan penelitian National Centre for Immunisation Research and Surveillance (NCIRS) pada 2021, satu dari empat orang berusia di atas 80 tahun kerap mengalami NPH usai terkena cacar api.
Dikutip dari laman Kemenkes, kasus NPH sering ditemukan pada kelompok usia 45-64 tahun dengan angka mencapai 26,5 persen.
"Ruamnya biasanya sudah hilang dalam waktu dua minggu atau kadang sebulan. Namun, nyerinya bisa menetap. Nyeri yang menetap ini bisa berlangsung berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun,” katanya.
Baca juga: Dokter Ingatkan Pentingnya Vaksin untuk Cegah Cacar Api
Menurut dr Dirga, rasa sakit yang berkepanjangan itu dapat memengaruhi kualitas hidup penderitanya serta bisa menyebabkan depresi dan isolasi sosial.
"Orang tua yang harusnya senang-senang dan jalan-jalan, tapi dia malah tersiksa dengan nyerinya," tutur dr Dirga.
Selain nyeri, herpes zoster yang menyerang area wajah juga berbahaya karena memiliki potensi komplikasi. Terlebih, jika ruamnya muncul di area dekat mata dan otak.
"Kondisi ini disebut herpes zoster ophthalmicus. Virus melukai saraf mata sehingga bisa menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan. Ini juga dapat menyebabkan gangguan pada telinga. Meski kasus ini jarang terjadi ketimbang gejala nyeri, komplikasinya bisa sangat serius," jelas dr Dirga.
Pada kasus yang lebih ekstrem, infeksi dapat menjalar ke otak dan menyebabkan gejala mirip stroke.
"Karena menyerang saraf wajah, pasien bisa mengalami kelumpuhan otot wajah sehingga mulutnya mencong. Bahkan, bisa mengalami gangguan pendengaran. Inilah yang membuat cacar api di area wajah memerlukan penanganan lebih serius dan intensif," ucap dr Dirga.
Dokter Dirga pun menyarankan masyarakat yang mengalami gejala cacar api untuk segera berkonsultasi dengan dokter saat merasakan gejala-gejala dari penyakit tersebut.
Pengobatan untuk cacar api biasanya melibatkan pemberian obat antivirus dan pereda nyeri.
Namun, pada lansia, pemilihan obat pereda nyeri biasanya dilakukan dengan lebih berhati-hati karena dapat memengaruhi organ-organ tubuh lain.
"Memang nyeri ini jadi masalah paling utama. Dokter biasanya akan meresepkan obat minum atau salep. Untuk orang tua, itu bisa berbeda karena tidak semua cocok dengan obat nyeri, terutama yang dikonsumsi,” ujar dr Dirga.
Selain melakukan pengobatan, dr Dirga juga menyarankan masyarakat, khususnya lansia, untuk mau melakukan vaksinasi cacar api.
Vaksinasi herpes zoster direkomendasikan untuk dua kelompok masyarakat. Pertama, semua orang berusia 50 tahun ke atas, baik yang memiliki penyakit penyerta maupun tidak.
Kedua, orang berusia 18 tahun ke atas yang memiliki kondisi imunokompromais atau sistem kekebalan tubuh yang lemah.
"Vaksin ini diberikan dalam dua dosis untuk memberikan perlindungan jangka panjang. Ini investasi kesehatan yang sangat berharga, mengingat dampak cacar api bisa sangat mengganggu kualitas hidup," terangnya.
Baca juga: Penyakit Cacar Api pada Lansia Bisa Dicegah dengan Vaksinasi
Meski demikian, masyarakat perlu memperhatikan beberapa kondisi khusus sebelum mendapatkan vaksinasi cacar api.
Menurut dr Dirga, orang yang pernah mengalami cacar api sebelumnya tetap bisa mendapatkan vaksinasi.
“Untuk pasien yang masih memiliki ruam aktif, sebaiknya menunggu fase akut itu selesai terlebih dahulu. Setelah itu, baru bisa divaksinasi,” terangnya.
Kemudian, vaksinasi cacar api saat ini belum direkomendasikan untuk ibu hamil. Untuk pasien yang sedang menjalani kemoterapi atau mengonsumsi steroid dosis tinggi, vaksinasi masih dimungkinkan dengan pertimbangan khusus dari dokter.
“Agar lebih jelas konsultasikan dulu kepada dokter terkait sebelum melakukan vaksinasi,” terangnya.
Dokter Dirga juga mengatakan bahwa edukasi terkait cacar api kepada lansia juga penting dilakukan. Terlebih, cacar api bisa memengaruhi kehidupan penderitanya.
“Oleh karena itu, kita harus bangun kesadaran. Jadi, tidak hanya berbicara tentang ruamnya, tapi juga ada risiko lain. Ini yang mesti disampaikan ke masyarakat," ucap dr Dirga.
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang penyakit cacar api, dr Dirga berharap, masyarakat dapat lebih waspada dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang diperlukan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.