KOMPAS.com - Berkat gawai canggih semua hiburan, musik, dan selingan dapat kita simpan di saku atau tas, dan dapat diakses tanpa henti. Itu sebabnya terkadang sulit untuk mengingat kapan kita punya perasaan bosan yang tidak nyaman, mematikan pikiran, dan menjengkelkan.
Namun, jika salah satu resolusi tahun 2025 kamu adalah untuk mengurangi penggunaan gawai dan paparan media sosial, maka menghadapi kebosanan mungkin merupakan konsekuensi yang harus dihadapi.
Perjalanan ke kantor di kereta tanpa podcast atau musik? Seakan seabad baru sampai! Menunggu di ruang praktik dokter tanpa ngobrol di WA atau scrolling media sosial? Mengerikan! Bahkan duduk di toilet tanpa membaca berita online terasa ada yang kurang.
Kebosanan bisa sama menyusahkannya dengan rasa sakit dan dalam beberapa kasus bahkan lebih dihindari.
Baca juga: 2 Cara Mengatasi Rasa Bosan karena Aktivitas Kerja yang Monoton di Kantor
Dalam sebuah eksperimen penelitian terkenal pada tahun 2014, sebagian besar peserta memilih rasa sakit akibat sengatan listrik yang dilakukan sendiri daripada duduk di ruangan selama 15 menit hanya dengan diri mereka dan pikiran sendiri.
Ternyata, kebosanan punya manfaat yang sama seperti rasa sakit.
“Rasa sakit tidak ada untuk membuat kita merasa terluka. Rasa sakit ada sebagai sinyal yang mendorong kita mengambil tindakan, untuk mengatasi apa pun yang menyebabkan rasa sakit itu. Kebosanan juga sama,” kata ahli saraf kognitif Prof. James Danckert dalam podcast Chasing Life bersama Dr. Sanjay Gupta.
Demikian pula dengan rasa bosan. Itu ada untuk membuat kita bersemangat, membuat kita melakukan sesuatu, dan mencari cara keluar dari keadaan bosan.
Danckert mendefinisikan kebosanan sebagai kondisi motivasi.
"Saya suka menggunakan kutipan dari Leo Tolstoy, dalam novelnya Anna Karenina, ketika saya memberikan definisi tentang kebosanan. Di sana, ia menggambarkan ennui atau kebosanan sebagai ‘keinginan untuk memiliki keinginan," katanya.
"Kebosanan adalah kondisi motivasi. Kamu ingin melakukan sesuatu yang berarti, tetapi tidak ada satu pun dari apa yang saat ini tersedia yang benar-benar diinginkan," kata salah satu penulis buku Out of My Skull: The Psychology of Boredom ini.
Baca juga: Sering Lelah dan Mager Bisa Disebabkan 4 Faktor Ini
Danckert mengatakan bahwa ia melihat kebosanan sebagai bentuk keinginan yang terhambat, keinginan untuk terlibat sepenuhnya dengan dunia di sekitar, tetapi tidak terpenuhi pada saat itu.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk menghilangkan kebosanan?
Danckert menawarkan lima saran dan pemikiran untuk mengelola rasa bosan, yang menurutnya tidak ilmiah, namun berdasarkan pengalaman dan pengamatan selama puluhan tahun.
Baca juga: Hobi Nonton Serial Kriminal untuk Relaksasi Tanda Gangguan Mental?
1. Jangan memberi daftar kegiatan
Jika kamu adalah orangtua dari seorang anak yang mengeluh bosan, atau ada teman yang mengaku bosan, jangan tawarkan serangkaian pilihan kegiatan apa yang bisa mereka lakukan.