Hal ini terjadi pada Stephanie Peterson (25), pendiri sebuah perusahaan yang membantu wirausaha wanita. Wanita asal Colorado Amerika Serikat ini memiliki produktivitas tinggi yang bahkan semakin meningkat saat liburan.
Ritme hidup yang selalu tinggi ternyata terbawa juga saat berlibur bersama teman dan keluarga. Kegiatan tersebut berakhir dengan Stephanie yang terus mengurung diri bersama laptop, tidak tidur, dan selalu memeriksa email.
Dibalik mobilitasnya, Stephanie ternyata merasa nyaman dengan keadaan tersebut. Dia memilih tetap sibuk daripada duduk diam dan tidak melakukan apapun. Stephanie merasa kehidupannya normal, layaknya yang lain.
Berdasarkan survei yang dilakukan Women's Health and The Doctors, kondisi serupa terjadi pada 63 persen wanita. Para wanita jarang memprioritaskan istirahat dalam kegiatan keseharian. Menurut Pew Research Center studies, 91 persen wanita mendobrak konsep relaksasi yang selama ini dibangun.
Masalah ini berawal dari kesalahan kronis yang terus dilakukan sehingga dianggap normal. Kondisi 'on' terus menerus dianggap sesuatu yang biasa sedangkan kondisi tenang dianggap abnormal, meski tidak nyaman bagi tubuh dan pikiran. Ide untuk bersitirahat, justru membuat wanita tidak tenang.
"Saat ini sangat banyak wanita yang bermasalah saat tiba waktunya untuk berhenti, rileks, dan memusatkan diri," kata psikolog klinis dan pendiri TooMuchOnHerPlate.com, Melissa McCreery, Ph.D. Kebiasaan ini ternyata berkonsekuensi tidak sehat, terutama saat tidak diketahui atau dirasakan.
Ketidakinginan hingga ketidakmampuan beristirahat, pada sebagian wanita, merupakan hasil dari ambisi yang ingin diraih. Sekitar 15 tahun lalu, hanya 25 persen wanita yang memperoleh bayaran tinggi. Saat ini sekitar 42 persen wanita melakukan hal serupa.
"Namun hal tersebut tidak semata karena uang," kata Nicole Williams, penulis Girl on Top: Your Guide to Turning Dating Rules into Career Success. Abad 21 yang berkonsep 'memiliki segalanya' mengatur pola pikir seseorang, sehingga setiap waktu yang tersedia lebih digunakan untuk kemajuan diri dibanding untuk istirahat.
Kondisi ini diperparah bursa kerja yang tidak stabil, sehingga wanita tidak hanya ingin sekedar sukses. Para wanita selalu berjuang hingga batas kompetitifnya. Dengan bekerja lebih keras wanita bisa belajar secepat dan sebanyak mungkin.
Menurut penulis Rising Stars, Elisabeth Kelan, Ph.D., kondisi ini menyamarkan batas antara waktu personal dan profesional. Akibatnya, waktu istirahat semakin disingkirkan dan mereka yang melakukannya berakhir dengan rasa marah. Survei membuktikan, 55 persen wanita merasa bersalah bila beristirahat.
Psikolog Elizabeth Lombardo, PhD. menyarankan wanita memiliki ritme istirahat dan kerja yang lebih baik. Siklus yang selalu berputar antara kerja dan istirahat lebih baik untuk kesehatan mental wanita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.