JAKARTA, KOMPAS.com - Paparan asap rokok dapat membahayakan kesehatan anak, baik kini dan masa mendatang. Diperparah lagi jika sudah mulai merokok sejak anak- anak.
Bahkan menurut Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2009, lebih dari 30 persen anak Indonesia merokok sebelum usia 10 tahun. Sementara itu, 59,1 persen balita menjadi perokok pasif karena terpapar dari rumah sendiri maupun tempat umum.
Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia Hery Chariansyah mengatakan, perlu ketegasan pemerintah dalam mengatur regulasi rokok guna melindungi anak Indonesia dari asap rokok.
Menurut Hery, jika masalah ini dibiarkan akan berdampak buruk pada bonus demografi Indonesia tahun 2020-2030. Pada tahun tersebut, penduduk produktif di Indonesia akan lebih banyak dari yang tidak produktif.
“Anak-anak Indonesia yang saat ini merokok dan terpapar asap rokok, pada 2020-2030 akan menjadi penduduk yang sakit-sakitan dan menjadi beban ekonomi, sehingga berpotensi mengancam bonus demografi,” ujar Hery dalam siaran pers yang diterima, Kamis (23/7/2015).
Berdasarkan Public Health Center, Harvard School tahun 2007, balita yang menjadi perokok pasif akan 5 kali lebih berisiko menderita pneumonia, 2,5 kali lebih berisiko meningitis, 1,5 kali lebih berisiko menderita infeksi telinga tengah, 2 kali lebih berisiko memiliki asma, dan 3 kali lebih berisiko terkena kanker paru-paru.
Lebih dari itu, sering terpapar asap rokok juga bisa berdampak buruk pada perkembangan otak anak, seperti gangguan belajar, masalah konsentrasi, dan gangguan perilaku.
Untuk itu, bertepatan dengan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada hari ini, Presiden Joko Widodo pun didesak segera mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Baca: Lindungi Anak dari Asap Rokok, Presiden Harus Ratifikasi FCTC.
“Aksesi FCTC selain bertujuan mencegah anak menjadi perokok pemula, juga sebagai upaya pemenuhan hak konstitusional anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal seperti dijamin UUD 1945 Pasal 28B ayat 2,” kata Hery.