Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/02/2010, 08:55 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ini merupakan pertanyaan mendasar yang dibutuhkan jawabannya oleh setiap manusia. Individu disebut sehat secara psikologis jika menemukan dirinya sebagai pribadi unik tanpa keterpisahan dari orang lain. Kendati perasaannya menyatu dengan semua orang, ia tidak meleburkan diri pada kelompok secara membabi buta alias mengenakan identitas massa.

“Saya seorang pengusaha”, “saya seorang polisi”, “saya seorang dokter”, “saya orang Jawa”, ”saya keturunan Arab”, “saya beragama Islam”, “saya orang Katolik”, dan sebagainya merupakan pernyataan yang dapat sangat berarti. Kebangsaan, suku, agama, status/profesi sering kali membantu memberikan rasa identitas sebelum seseorang menemukan yang asli dan unik.

Untuk mengetahui adanya kesadaran mengenai identitas sejati dalam diri kita, dapat dibayangkan dengan mengandaikan situasi ketika seseorang bertanya, “Siapakah aku menurut yang kamu ketahui?” Mungkin ada yang menjawab, “Kamu seorang pengusaha yang sukses” atau “Kamu orang Ambon beragama Islam”, dan lain-lain.
Apakah kita cukup puas dengan mengetahui identitas kita seperti itu?  Apakah kita sudah merasa sangat berharga dengan keanggotaan kita dalam suatu kelompok kebangsaan, suku, agama, status/profesi?

Jawaban seperti itu tidak akan cukup memuaskan orang yang telah menemukan siapa sejati dirinya. Ia baru akan puas bila mendapat jawaban yang sesuai dengan pengenalannya terhadap diri sendiri yang unik, seperti “Kamu itu sersan: tampak santai-santai ternyata serius,” atau “Kamu orang yang unik: tegas tetapi lembut juga,” atau “Kamu ini bertampang residivis, tetapi berhati malaikat,” dan sebagainya.

Namun, penemuan identitas diri sebenarnya tidaklah sesingkat jawaban-jawaban tersebut. Hal yang paling mendasar dalam penemuan identitas diri sejati adalah adanya perasaan sebagai individu yang unik, merasakan “aku” sebagai pusat dan subyek aktif dari potensi-potensinya, dan mengalami dirinya apa adanya, bebas dari tekanan otoritas tertentu.

Kebalikan dari penemuan identitas diri adalah keadaan individu yang menggantungkan identitasnya pada hal-hal yang bersifat eksternal, umumnya bergantung pada kelompok di mana ia menjadi bagiannya.

Tidak semua orang dapat menemukan identitas diri sejati. Mayoritas dari kita masih mengenakan identitas massa: mengabaikan potensi untuk berpikir-merasa-bertindak secara asli sesuai “cita rasa” sejatinya. Kita menggantikannya dengan pikiran, perasaan, dan tindakan sesuai dengan yang diinginkan oleh kelompok di mana kita menjadi bagiannya atau yang diinginkan oleh otoritas tertentu.

Kebutuhan identitas

“Aku adalah sebagaimana keinginanmu” merupakan judul sebuah drama yang pernah ada. Erich Fromm dalam bukunya, The Sane Society, melihat bahwa drama yang ditulis oleh Pirandello itu mencerminkan kondisi di mana rasa identitas seseorang bersandar pada rasa yang dimiliki oleh orang banyak tanpa dapat dipertanyakan (dikritisi).

Uniformitas (penyeragaman dalam berpikir, merasa, dan bertindak) dan konformitas (mengikuti sikap dan perilaku kelompok) sering kali tidak disadari dan diselubungi dengan ilusi individualitas.

Menurut Fromm, problem rasa identitas tidaklah seperti yang dipahami orang pada umumnya: semata-mata dianggap sebagai problem filosofis. Kebutuhan akan rasa identitas keluar dari kondisi dasariah eksistensi manusia dan merupakan sumber perjuangan yang amat intensif. “Karena saya tidak dapat sehat tanpa rasa aku, saya terdorong berbuat apa saja untuk mendapatkan rasa tersebut.”

Lebih lanjut Fromm menjelaskan, di balik penderitaan yang berat, status dan konformitas begitu dibutuhkan dan kadang lebih kuat dari kebutuhan untuk bertahan hidup secara fisik.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com