Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/02/2010, 08:55 WIB

Hal ini dapat dilihat dari adanya fakta orang rela mempertaruhkan hidup, mengorbankan cinta, menyerahkan kebebasan, mengorbankan ide-ide demi menjadi suatu kelompok yang konformis, dan dengan demikian memperoleh rasa identitas, walaupun hanya ilusi belaka.

Masyarakat kita
Fakta yang disebutkan oleh Fromm pada tahun 1955 dengan konteks masyarakat Amerika itu masih tampak dalam masyarakat kita saat ini. Identitas massa tampak dari adanya orang-orang yang tidak berani berpikir, berpendapat, bersikap, dan bertindak berbeda dari kelompok di mana ia menjadi bagiannya kendati kelompoknya melakukan kesalahan.

Identitas massa juga tampak dari fenomena saat para pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, dan juga anak-anak digiring untuk melakukan aksi (demonstrasi atau mengikuti arus pikiran tertentu) tanpa benar-benar memahami maknanya.

Bila ditanya mengapa ia melakukan aksi itu, jawaban yang diberikan akan dicari-cari sesuai dengan apa yang kira-kira diharapkan oleh pihak yang memiliki otoritas atas dirinya atau oleh pemberi perintah.

Tampak bahwa jawaban yang diberikan bukan bersumber dari pemikiran atau perasaan asli dari dalam dirinya. Ekspresi mereka tampak kosong dengan mata bergerak mencari-cari. Atau sebaliknya, justru berlebihan dalam ekspresi, tetapi tetap tampak sebagai pembeo.

Kita juga dengan mudah menemukan bagaimana para orang dewasa (bukan hanya orang muda atau anak-anak) masih senang menyatakan, “Saya hanya menjalankan perintah” atau terlalu sering menyatakan, “Menurut petunjuk …….”.  

Begitu sering kita menemukan fenomena identitas massa, tak lain merupakan hasil pendekatan otoriter yang diterapkan secara kolektif pada masa lalu. Pada level pemerintah, kita mengenal rezim Soeharto yang selama 30-an tahun menggunakan pendekatan militeristik. Pada level keluarga, banyak orangtua yang mengalami keotoriteran penguasa meneruskan pendekatan itu dalam keluarga.

Bukan hanya keotoriteran yang memungkinkan berkembangnya identitas massa. Dalam masyarakat, kita juga dapat melihat berbagai gaya hidup telah menjadi begitu penting dan “mengatur” bagaimana orang mengembangkan identitas dirinya.
Tampak kegelisahan orang-orang untuk selalu dapat mengikuti gaya hidup tertentu yang pada umumnya berbau materialisme. Mereka telah berilusi “menemukan identitas diri” dengan menjadi bagian dari kelompok dengan gaya hidup tertentu.

Identitas dan moralitas
“Malu” merupakan hal yang diharapkan oleh masyarakat bila seseorang diketahui melakukan tindakan amoral, melanggar norma masyarakat. Rasa malu merupakan pertanda bahwa seseorang mempertimbangkan pikiran dan perasaan masyarakat pada umumnya.

Memiliki rasa malu memang lebih baik daripada tidak memiliki rasa malu ketika seseorang berbuat amoral. Namun, bila hanya memiliki rasa malu, tanpa merasa bersalah karena telah mengingkari suara hatinya sendiri, hal itu berarti ia masih membuka peluang diri untuk melakukan tindakan amoral berikutnya asalkan tidak diketahui oleh masyarakat. Identitas diri yang dikembangkan orang seperti ini masih berupa identitas massa.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com