Banda Aceh, Kompas
”Terpaksa kami menggunakan tempat di terminal pelabuhan untuk menampung mereka (pelarian warga etnis Rohingnya). Kami sudah koordinasikan hal ini dengan pemerintah daerah dan pusat untuk membantu menangani,” ujar Kepala Kantor Imigrasi Banda Aceh Wilmar Sayuti, Kamis (17/2).
Pada Rabu (16/2), sebanyak 129 warga etnis Rohingnya terdampar di perairan sebelah Utara Kabupaten Pidie, Aceh. Kini, mereka ditampung di Terminal Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Aceh Besar.
Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan, kedatangan pendatang ilegal dari etnis Rohingnya ke Aceh bukan ketidaksengajaan. Dalam tiga tahun terakhir tercatat sudah tiga kali hal tersebut terjadi.
”Mereka memang sengaja lari ke Aceh. Bukan ranah pemerintah daerah sebenarnya untuk mengurusi ini karena kaitannya dengan warga negara lain. Kami menyerahkan kepada pemerintah pusat, khususnya Kementerian Luar Negeri,” kata Nazar.
Ada tujuh orang pendatang ilegal tersebut yang sakit, tiga di antaranya masih diinfus. Empat lainnya kondisinya membaik. Masyarakat sekitar lokasi penampungan membantu menyediakan baju dan makanan
Petugas dari Organisasi Internasional Urusan Migrasi (IOM) pada Kamis pagi tiba di penampungan sementara warga etnis Rohingnya. Mereka memeriksa kondisi para pelarian tersebut.
Namun, pendataan terkendala masalah komunikasi. Dari 129 orang itu, tak satu pun yang dapat berbahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. Ada satu orang yang bisa berbahasa melayu, tetapi itu pun hanya patah-patah. Mereka itu hanya bisa berbahasa Bangla, bahasa khas etnis Rohingnya yang sama dengan bahasa sehari-hari warga Banglades.
”Kendala komunikasi itu juga mempersulit kami mengetahui secara pasti tujuan mereka dan asal usul mereka, termasuk apa benar mereka dari etnis Rohingnya (seperti dugaan selama ini),” kata Wilmar.