Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Refleksi atas Kemenangan Jokowi

Kompas.com - 21/09/2012, 13:46 WIB

KOMPAS.com - Ketika berlangsung Munas Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia di Solo, 2008, penulis bertanya kepada ketua asosiasinya, Yusuf Serang Kasim—saat itu Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur—tentang alasan memilih Solo sebagai tuan rumah acara organisasi tersebut.

Yusuf menjawab: ”Kami, para wali kota, ingin belajar dan melihat langsung sukses Solo dalam aneka kebijakan yang berdampak langsung kepada rakyat.”

Jawaban itu menunjukkan apresiasi para sejawat Joko Widodo (Jokowi) sejak ia memimpin Solo pada 2005. Pengakuan kepadanya tidak muncul tiba-tiba. Terbangun paralel bersama dengan keteguhannya berfokus pada tugas pokok pemerintah: memberikan pelayanan optimal kepada publik! Konsistensi pada pemenuhan kebutuhan dasar rakyat banyak dapat anugerah dan mengantarkannya meraih berbagai penghargaan nasional-internasional.

Lima petunjuk

Kemenangan Jokowi-Basuki Tjahaya Purnama pada Pilkada DKI merefleksikan hasrat kuat rakyat Jakarta untuk berubah. Sekaligus menjadi sumber inspirasi baru dinamika politik dan hakikat kepemimpinan publik. Hasil pilkada ini sekurang-kurangnya mengindikasikan lima petunjuk penting proses demokratisasi dan otonomi daerah.

Pertama, ada siklus menetap berupa terpeliharanya sikap anti-status quo pada masyarakat Ibu Kota yang plural-urban. Jakarta selalu terdepan dalam menggalang dan memperbesar episentrum gerakan perubahan. Masyarakat cerdas menilai jarak antara pernyataan dan kenyataan. Toleran bila realitasnya memang kompleks, tetapi kritis bila mengada-ada atau tidak transparan.

Bagi warga PDI-P Jakarta dan warga nonpartai, kemenangan Jokowi mengakhiri penantian panjang kepengapan politik dan mampetnya aspirasi. PDI (tanpa embel-embel Perjuangan) membuat Jakarta merah total pada Pemilu 1987, 1992, dan 1997, tetapi mendapati kenyataan perolehan suaranya selalu di posisi buncit: kalah oleh Golkar dan PPP.

Pada Pemilu 1999, dengan atribut PDI-P, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri unggul di DKI. Akibat kader partai banyak tersandung kasus korupsi, PDI-P tak lagi menang di Jakarta pada Pemilu 2004 dan 2009. Fakta ini bisa dibaca sebagai cermin sikap kritis warga Jakarta.

Pengajuan nama Jokowi oleh PDI-P seperti memantik euforia 1999. Memang suasananya tidak segegap-gempita waktu itu, tatkala posko-posko pemenangan hadir mencolok di sudut-sudut kota. Harapan lama tersembul kembali. Petahana yang dianggap gagal memenuhi ekspektasi warga pada lima problem utama Ibu Kota: banjir, macet, kumuh, korupsi, premanisme, jadi sasaran ”penggulingan” bersama.

Kedua, kapabilitas dan integritas figur jauh lebih berharga ketimbang partai. Jokowi-Basuki menjungkirbalikkan prediksi yang semata-mata bersandar pada logika statistik elektabilitas kedua partai pengusung (PDI-P dan Gerindra). Perolehan suara kedua partai itu pada Pemilu 2009 hanya 17 persen, jauh di bawah perolehan suara Jokowi- Basuki, baik di putaran I (42,6 persen) dan II (sekitar 52-54 persen, menurut hasil hitung cepat beberapa lembaga survei).

Hasil ini, untuk kesekian kalinya memberikan pesan tegas kepada partai-partai bahwa mereka bukan lagi sumber rujukan pemilih. Warga Ibu Kota sekaligus memberikan sinyal ”lampu kuning” kepada lembaga-lembaga survei agar cermat membaca ”mata hati” dan ”mata pikiran” mereka.

Jokowi menyebut peran besar para ”gerilyawan”—istilahnya untuk para relawan yang bergerak masif ke seluruh wilayah—guna memasarkan dan mengenalkan pribadi, visi-misinya. Klaim bahwa kandidat ”mendompleng” partai tak valid. Dua kali putaran pilkada, Jokowi-Basuki terbukti jauh ”melampaui” kapasitas mesin partai PDI-P dan Gerindra.

Ketiga, runtuhnya politik pencitraan. Jokowi dikesankan oleh pesaingnya hanya ”seolah-olah” berprestasi. Asosiasi seperti itu barangkali hendak mengirim pesan kepada pemilih: Jokowi sedang membangun politik pencitraan, sesuatu yang sekarang bikin alergi masyarakat. Resep ini tak manjur karena bukti rekam jejak mudah dilacak dan dikonfirmasi oleh pemilih, terutama yang berpendidikan dan memiliki informasi akurat.

Keempat, media yang memihak. Menyimak proporsi-substansi pemberitaan media cetak, online dan elektronik, bahkan media sosial (Facebook, Twitter, BBM), sulit dimungkiri: Jokowi telah menjelma sebagai ikon baru figur publik. Media tampaknya jengah dan jenuh dengan banjir berita birokrat dan politisi korup dari seluruh pelosok negeri. Kehadiran peraih Bung Hatta Anti-Corruption Award 2010 ini bagai oase menyegarkan dan segera merebut simpati.

Kelima, tersedia cadangan sumber kepemimpinan baru. Para pemimpin daerah yang fokus umumnya memahami dan menjalankan mantra pelayanan publik universal dengan perhatian besar pada Indeks Pembangunan Manusia.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com