Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/10/2012, 06:32 WIB

Ichwan Susanto

Pernahkah telinga Anda tiba-tiba berdenging? Meski cukup mengganggu aktivitas, kebanyakan kita tidak terlalu peduli. Jika tidak tahan, paling-paling langkah yang diambil untuk mengatasinya sebatas meneteskan obat tetes telinga.

Suara berdenging yang dalam istilah medis disebut tinnitus ini bisa disebabkan kerusakan sel saraf atau gangguan pada fungsi indra pendengaran. Dengan sejumlah pengobatan, gangguan ini bisa hilang.

Pada Medical News Today, 30 September 2012, para ahli di University of Leicester memperingatkan agar kita tidak menggunakan headphone dengan volume terlalu tinggi. Kebiasaan itu bisa merusak lapisan sel saraf.

Menurut para peneliti, tingkat kebisingan yang mencapai lebih dari 110 desibel (dB) bisa disetarakan dengan tingkat suara mesin pesawat. Penelitian Martine Hamann, penulis dan peneliti di University of Leicester, yang diterbitkan dalam Proceeding National Academy of Sciences, ini merupakan penelitian pertama yang membuktikan bagaimana suara menyebabkan kerusakan sel. ”Selubung myelin adalah lapisan pada sel saraf yang membawa sinyal listrik dari telinga ke otak dan membantu sinyal listrik merambat sepanjang sel saraf,” papar Hamann.

Menurut Hamann, paparan suara keras melebihi 100 dB dapat menghentikan sinyal listrik dan tidak memungkinkan informasi bisa dikirim dari telinga ke otak. Untungnya, selubung myelin mampu memperbarui lapisannya dan memungkinkan sel untuk berfungsi normal kembali. Karena itu, gangguan pendengaran kadang-kadang hanya bersifat sementara.

Gangguan tuli sementara bisa terjadi sewaktu-waktu. Sudden sensoryneural hearing loss (SSHL) ini jika tidak ditangani secara cepat dan tepat bisa mengakibatkan ketulian permanen dan sulit diobati.

Tidak dengar bisikan

Seseorang dapat dikategorikan menderita SSHL jika kehilangan kemampuan pendengaran skala 30 dB atau lebih. Gangguan itu paling sedikit pada tiga frekuensi audimetri. Sebagai gambaran, suara 30 dB itu setara bisikan halus pada jarak 1 meter. Suara orang berbicara normal adalah 50-60 dB.

Gangguan seperti ini berlangsung kurang dari tiga hari dan biasanya hanya terjadi pada satu telinga, meski tak tertutup kemungkinan terjadi pada kedua telinga. Gejala awal biasanya ditandai dengan telinga berdenging dan ada pula yang disertai vertigo atau pusing kepala.

”SSHL atau tuli sementara ini dapat terjadi pada siapa saja, bisa perempuan atau laki-laki, dewasa dan anak-anak. Penyebabnya tidak diketahui,” kata Jenny Bashiruddin, Guru Besar Bidang Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, pertengahan Oktober lalu, di Jakarta.

Dalam pemeriksaan SSHL, telinga klien akan diberikan stimulus bunyi (nada murni) atau suara percakapan dengan tingkat intensitas (kekerasan) suara dan frekuensi (nada) yang berbeda melalui earphone. Kemudian, pasien diminta untuk memberikan respons.

Pada masa lalu, pengobatan gangguan tuli sementara menggunakan obat antivirus dan antiinflamasi (antiradang). Obat antivirus untuk menanggulangi kemungkinan serangan virus yang menyerang organ dalam pendengaran.

Terapi hiperbarik

Kini, pengobatan tuli sementara yang prevalensinya mencapai 5-20 orang per 100.000 penduduk mengandalkan kortikosteroid dosis tinggi. Untuk mengefektifkan pengobatan dengan kortikosteroid, dilakukan terapi hiperbarik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com