Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Akhir yang Baik di Bidang Pengendalian Dampak Rokok

Kompas.com - 16/10/2014, 15:00 WIB

KOMPAS.com - Jika dalam waktu sempit hanya ada satu kesempatan menyelamatkan jutaan rakyat dan masa depan bangsa dari bahaya rokok, pemimpin tentu tak akan menyia-nyiakannya. Itu yang diharapkan banyak pihak dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di akhir masa kepemimpinannya, yakni mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau

Harapan itu tak berlebihan mengingat saat ini epidemi tembakau di Tanah Air kian mengkhawatirkan. Prevalensi merokok penduduk Indonesia naik dari 27 persen (1995) menjadi 36,3 persen (2013). Sebanyak 90 juta orang dari 250 juta orang di Indonesia adalah perokok, menempati posisi ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India.

Prevalensi perokok pemula usia 10-14 tahun naik dua kali lipat dari 9,5 persen (2001) menjadi 18 persen (2013). Sepertiga dari siswa sekolah mencoba mengisap rokok pertama kali sebelum usia 10 tahun.

Bahkan, berbagai media internasional pernah memberitakan adanya bayi perokok berusia dua tahun dari Sumatera Selatan, Aldi Rizal. Nama Indonesia pun muncul sebagai negara dengan bayi perokok. Aldi hanya satu dari sekian banyak anak yang merokok.

Padahal, rokok mengandung sekitar 4.000 zat berbahaya yang bisa menyebabkan kanker. Karena itu, rokok termasuk produk yang dikenai cukai sama seperti alkohol. Peredaran rokok pun mesti dikendalikan.

Namun, di Indonesia terjadi anomali. Produk yang mengandung ribuan racun justru beredar luas dan diiklankan secara bebas. Anak-anak dan remaja bisa membeli rokok di mana saja dan kapan saja. Rokok juga bisa dibeli satuan (ketengan).

Lebih ironis lagi, produksi rokok justru terus digenjot. Pada peta jalan industri produk tembakau dan kebijakan cukai 2007-2020, produksi maksimal rokok pada 2020 diasumsikan 260 miliar batang. Sejak 2009, volume itu terlampaui. Produksi rokok pada 2013 sudah mencapai 360 miliar batang.

Sosiolog Imam Prasodjo mengatakan, sesuai konstitusi, seharusnya pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kesehatan rakyat dikorbankan, kepentingan industri rokok didahulukan. ”Lobi-lobi industri rokok masuk hingga Istana. Pada peringatan Hari Ulang Tahun RI 17 Agustus, kadang ada rokok dalam kantong bingkisan tamu,” katanya.

Industri rokok terus menyasar anak muda sebagai target pasar. Kian muda seseorang mulai merokok, kian lama ia akan terus merokok. Setiap isapan rokok akan menggerogoti kondisi tubuh sekaligus memperkaya pemilik industri rokok.

Hasil kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan, jumlah penderita penyakit akibat konsumsi tembakau naik dari 384.058 orang pada 2010 menjadi 962.403 orang pada 2013.

Kerugian ekonomi

Sementara itu, kerugian ekonomi secara makro akibat merokok naik dari Rp 245,4 triliun pada 2010 menjadi Rp 378,7 triliun pada 2013. Nilai kerugian itu lebih besar dibandingkan cukai rokok yang diterima negara yang hanya Rp 113 triliun. Cukai itu bukan kontribusi industri rokok pada negara, melainkan dibayar perokok yang mayoritas warga miskin.

Jika kondisi itu berkepanjangan, anggaran Jaminan Kesehatan Nasional bisa jebol, antara lain, karena penyakit tak menular terkait rokok.

Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo menyatakan, pengendalian tembakau lebih merupakan masalah ekonomi. Mayoritas perokok di Indonesia adalah rakyat miskin. Setelah beras, pengeluaran kedua terbesar rakyat miskin adalah rokok.

Aksesi FCTC

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com