BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com mengenai upaya Indonesia menanggulangi DBD

Tren Peningkatan Kasus DBD dan Langkah Intervensi Inovatif dalam Penanggulangan DBD di Tanah Air

Kompas.com - 23/05/2024, 10:07 WIB
Yakob Arfin Tyas Sasongko,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi


KOMPAS.com - Peningkatan kasus demam berdarah dengue (DBD) sejak awal 2024 di Tanah Air tengah menjadi sorotan. Tren kenaikan kasus ini ditengarai sejumlah hal, yang salah satunya merupakan dampak El Nino dan La Nina.

Seperti diketahui, El Nino dan La Nina merupakan fenomena iklim yang tak dapat dihindari di Tanah Air sebagai negara tropis.

El Nino ditandai dengan pemanasan suhu muka laut (SML) secara berkala di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur. Sementara La Nina, kebalikannya. Saat La Nina terjadi, SML di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya.
Tren kasus DBD di Tanah Air

Kedua fenomena itu, baik El Nino dan La Nina punya pengaruh terhadap krisis kesehatan. Salah satunya, peningkatan tren kasus demam berdarah dengue (DBD).

Suhu yang lebih hangat akibat El Nino membuat nyamuk Aedes aegypti semakin ganas. Pada suhu panas di atas 30 derajat Celcius, frekuensi nyamuk menggigit berisiko meningkat 3-5 lipat.

Baca juga: Kemenkes Sebut Fenomena El Nino Pengaruhi Tingginya Kasus DBD di Indonesia

Sementara saat La Nina, tantangan terhadap tren penyakit itu pun ada akibat curah hujan yang tinggi memengaruhi penyebaran dan perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti sebagai peyebab DBD.

Di Tanah Air, tren kasus DBD meningkat sejak awal 2024. Merujuk data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 18 Maret 2024, total kasus DBD hingga minggu ke-18 pada 2024 mencapai 91.269 kasus dengan kematian 641 jiwa.

Jumlah tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan laporan pada periode sama 2023, yaitu sebanyak 28.679 kasus DBD dengan 209 kematian.

Sedikitnya, terdapat lima kabupaten/kota penyumbang kasus terbanyak hingga minggu ke-17 pada 2024, yaitu Kota Bandung dengan 3.468 kasus, Kabupaten Tangerang 2.540 kasus, Kota Bogor 1.944 kasus, Kota Kendari 1.659 kasus, dan Kabupaten Bandung Barat dengan 1.576 kasus.

Sementara itu, kabupaten/kota dengan kematian DBD tertinggi pada 2024, di antaranya Kabupaten Bandung dengan 29 kematian, Kabupaten Jepara 21 kematian, Kota Bekasi 19 kematian, Kota Subang 18 kematian, dan Kota Kendal 17 kematian.

Baca juga: Angka DBD di Kota Malang Capai 600 Kasus, Rata-rata Usia Pelajar

Angka kasus DBD di Indonesia terus mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Di tahun 2023 saja, kasus DBD mengalami penurunan menjadi 114.720 kasus, dari tahun sebelumnya yaitu 143.266. Meski begitu, lonjakan drastis pada awal 2024 menjadi alarm bagi seluruh pihak untuk melihat kembali faktor yang dapat mengubah tren kasus DBD di Tanah Air.

Sebagai informasi, lonjakan angka kasus DBD pada 2024 di Tanah Air membuat sejumlah rumah sakit (RS) mengalami okupansi pasien yang rerata merupakan anak-anak. Misalnya, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor, telah menangani 259 pasien sejak awal tahun dengan keterisian tempat tidur mencapai 96 persen.

Selain Bogor, tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) pasien di RSUD Tamansari, Jakarta Barat (Jakbar), hampir mencapai 100 persen pada pekan sepanjang Maret 2024. Peningkatan BOR sebanyak 80-90 persen di RS tersebut merupakan dampak dari kenaikan kasus DBD.

Berkaca dari lonjakan kasus tersebut, kewaspadaan serta strategi tepat guna mengatasi penyakit DBD perlu ditingkatkan. Kejadian ini tidak dapat diabaikan karena bersinggungan dengan keselamatan masyarakat di Indonesia. Melihat historinya juga, tren peningkatan kasus DBD bukanlah kali pertama.

Bahkan, sudah terbukti bahwa DBD menimbulkan beban yang tidak sedikit.

Turunkan produktivitas dan beban pembiayaan

Di sisi lain, DBD turut berpengaruh terhadap produktivitas, baik pada penyintas maupun keluarga yang merawat.

Kekhawatiran akibat DBD pun meningkatkan rasa khawatir pada keluarga, mengingat DBD dapat mengancam jiwa dan sampai dengan saat ini tidak ada pengobatan khusus untuk mengobatinya.

DBD yang dapat menjangkit siapa saja – terlepas dari usia, di mana mereka tinggal, atau gaya hidup – juga menurunkan produktivitas pencari nafkah dalam keluarga apabila (pencari nafkah) mesti menjaga anggota keluarga yang terpapar DBD.

Biaya yang dikeluarkan terbilang tak sedikit apabila sampai dilakukan perawatan di RS. Hal ini menjadi beban secara finansial, terutama bagi masyarakat yang tidak terkover asuransi.

Beban tersebut mencakup biaya rawat inap, rawat jalan, dan biaya penunjang lain langsung maupun tidak langsung, termasuk transportasi.

Baca juga: Kasus DBD di Tangerang Selatan Meningkat, Paling Banyak di Pamulang

Kasus DBD pun bak efek domino yang mana turut berdampak pada berbagai sektor, termasuk perusahaan. Dalam hal ini, produktivitas karyawan dapat menurun serta perusahaan menanggung biaya pengobatan tinggi guna menjamin kesehatan karyawan.

Negara turut menanggung beban tersebut akibat DBD. Pemerintah sendiri melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) setiap tahun mesti membayar klaim perawatan kasus DBD mencapai lebih dari Rp 350 miliar pada 2015-2021.

Mengutip data BPJS Kesehatan sebagaimana melansir Kompas.id, Kamis (21/3/2024), pembiayaan untuk seluruh kasus dengue pada 2023 mencapai 1,3 triliun. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp 626 miliar.

Hal itu menunjukkan beban pembiayaan pemerintah yang tinggi untuk penanganan kasus dengue di Indonesia.

Rangkaian penanggulangan DBD di Indonesia

Sejak DBD ditemukan pertama kali di Tanah Air pada 1968, pemerintah menginisiasi sejumlah upaya penanggulangan dengue. Kala itu, kasus DBD pertama ditemukan di Jakarta dan Surabaya.

Lantaran menjadi penyakit baru, tingkat kematian DBD terbilang masih tinggi. Dari sebanyak 58 kasus, 24 di antaranya meninggal dunia atau case fatality rate (CFR) 41,3 persen.

Jurnal bertajuk “Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue di Indonesia” (2009) menyebutkan, kasus DBD memuncak setiap 10 tahun sekali sejak 1968 hingga 2008, yaitu pada 1988, 1998, dan 2008.

Baca juga: Kasus DBD di Lumajang Naik Jadi 440 Orang

Lonjakan kasus DBD pertama terjadi pada 1973 dengan jumlah kasus 10.189. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 1983, terdapat 13.668 kasus. Selanjutnya, menjadi siklus lima tahunan di mana pada 1988 terdapat 41.347 kasus.

Adapun upaya penanggulangan DBD sudah diberlakukan secara nasional dimulai pada 1970. Pada 1981, upaya larvasidasi pun digalakkan, yakni pemberantasan jentik dengan menaburkan bubuk larvasida.

Kemudian, dilanjutkan dengan aksi larvasida selektif pada 1986, yaitu pemeriksaan tempat penampungan air, baik di dalam maupun luar rumah dan bangunan sekaligus penaburan bubuk larvasida.

Tidak hanya itu, program fogging diinisiasi pada 1990. Program ini dilakukan dengan metode pengasapan pengendalian vektor menggunakan bahan kimia guna mematikan nyamuk dewasa dalam waktu singkat.

Ada pula kelambu 3M pada 1992 dengan memasang tirai tempat tidur. Program ini dibarengi dengan tindakan menguras dan menutup tempat penampungan air, serta mengubur (3M) barang bekas yang berpotensi menjadi tempat penampungan air.

Pada 2000, terdapat juru pemantau jentik (Jumantik) 3M dan communication for behavioral impact (Combi) pada 2004. Pun demikian pada 2007 digalakkan pemberantasan sarang nyamuk dan Combi, serta gerakan satu rumah satu jumantik (G1R1J) pada 2015.

Terbaru, pemerintah telah melakukan inovasi riset teknologi Wolbachia dengan hasil yang menunjukkan penurunan 77 persen kejadian dengue di daerah intervensi (yang mendapatkan intervensi Wolbachia), dibandingkan dengan daerah kontrol (tidak mendapatkan intervensi Wolbachia) di Kota Yogyakarta.

Selain itu, melalui penilaian tim pengkajian risiko independen yang dibentuk oleh Kementerian Riset dan Teknologi pada 2016, teknologi nyamuk ber-Wolbachia dinyatakan memiliki tingkat risiko paling rendah bagi manusia dan lingkungannya .

Perlindungan yang inovatif

Upaya penanggulangan DBD lewat program-program tersebut perlu dilaksanakan secara berkelanjutan oleh seluruh stakeholder hingga ke akar rumput. Namun, langkah itu saja tidak cukup untuk menanggulangi dengue.

Agar upaya mitigasi DBD lebih optimal, program yang sudah berjalan perlu dibarengi dengan perlindungan inovatif dari sektor kedokteran. Tujuannya, untuk membangun ketahanan kesehatan masyarakat dari dalam.

Baca juga: Vaksin DBD Tersedia di Indonesia, Begini Syarat untuk Mendapatkannya

Salah satu inovasi medis yang perlu diimplementasikan untuk mencegah DBD adalah vaksinasi dengue.

Untuk diketahui, vaksin dengue adalah salah satu strategi nasional Indonesia dalam pencegahan DBD. Vaksin ini perlu diberikan pada kelompok masyarakat yang berisiko, termasuk anak-anak.

Diberitakan Antara, Minggu (21/1/2024), data Kemenkes 2017-2022 menunjukkan, persentase kematian tertinggi masih pada kelompok umur 5-14 tahun di kisaran angka 40 persen.

Di sisi lain, anak-anak rentan terinfeksi dengue karena mereka berada dekat dengan populasi nyamuk Aedes aegypti. Selain itu, waktu aktif nyamuk bersamaan dengan jadwal aktivitas anak-anak pada umumnya, yaitu pada siang hari dengan puncaknya pukul 08.00–13.00 serta 15.00–17.00.

Baca juga: Menilik Peran Vaksin dan Inovasi Teknologi Wolbachia dalam Menanggulangi Kasus DBD di Tanah Air

Vaksin dengue sendiri sudah ada di Indonesia sejak tahun 2016, namun yang saat ini yang tersedia di Indonesia dapat diberikan kepada kelompok usia 6-45 tahun.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun merekomendasikan pemberian vaksin dengue pada anak usia 6 hingga 18 tahun. Vaksin dinilai penting diberikan pada usia 6 tahun mengingat daya tahan tubuhnya lebih baik ketimbang anak pada usia di bawahnya.

Sementara itu, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), juga merekomendasikan pemberian vaksin dengue kepada dewasa yaitu 19-45 tahun.

Adapun Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (PERDOKI) kepada pekerja sektor di pertanian, perkebunan, kehutanan, pekerja di daerah endemik, atau pergi ke daerah endemik, dan pekerja di lokasi konstruksi.

Untuk diketahui, vaksin dengue yang pernah beredar di Indonesia adalah vaksin dengue CYD-TDV. Sementara, vaksin dengue yang saat ini beredar adalah vaksin dengue TAK-003. Kedua vaksin tersebut merupakan jenis vaksin hidup yang dilemahkan yang mengandung empat jenis virus.

Seiring dengan urgensi DBD serta dampak yang ditimbulkan, upaya pencegahan dengan vaksinasi boleh menjadi opsi bagi masyarakat.

Kalau perlu, hal itu juga bisa menjadi perhatian seluruh stakeholder, mulai dari pemerintah, praktisi kesehatan, pelaku industri kesehatan, hingga masyarakat. Selain itu, tentunya diiringi konsistensi dari implementasi gerakan-gerakan yang telah dicanangkan pemerintah, seperti 3M Plus dan G1E1JG1R1J, tetap terjaga dengan baik.

Momen Pekan Imunisasi Dunia (World Immunization Week) yang diperingati pada minggu terakhir bulan April setiap tahunnya dapat dijadikan pemantik sebagai waktu yang tepat bagi masyarakat untuk semakin meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma terkait vaksinasi.

Dengan begitu, masyarakat terdorong untuk mencari tahu lebih banyak tentang penyakit DBD dan pencegahan secara mandiri yang dapat memberikan perlindungan menyeluruh, baik bagi diri sendiri maupun keluarga.

Ingin dapat edukasi lengkap seputar dengue/DBD, baik terkait penyakit maupun tindak pencegahannya? Kunjungi www.cegahdbd.com sekarang juga!

 

 

C-ANPROM/ID/QDE/0501


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com