KOMPAS.com – Pengobatan modern sudah mempelajari hubungan kesehatan fisik dengan kondisi kejiwaan seseorang. Berbagai macam penyakit, termasuk sakit perut, gatal-gatal, dan bahkan penyakit jantung, terkait dengan efek stres emosional. Lalu bagaimana dengan hubungan stres dengan daya tahan tubuh itu sendiri?
Mempelajari hubungan antara stres dan sistem kekebalan tubuh merupakan tantangan yang sulit. Hal ini dikarenakan stres sulit ditentukan standarnya. Apa yang mungkin menyebabkan stres bagi satu orang belum tentu bagi yang lain.
Ketika orang dihadapkan pada situasi yang mereka anggap membuat stres, sulit bagi mereka untuk mengukur berapa banyak stres yang mereka rasakan, dan sulit bagi ilmuwan untuk mengetahui apakah kesan subjektif seseorang dalam jumlah stres yang akurat. Ilmuwan hanya dapat mengukur hal-hal yang mungkin mencerminkan stres, seperti berapa kali jantung berdetak setiap menit, namun langkah-langkah tersebut juga dapat mencerminkan faktor-faktor lainnya.
Sejumlah peneliti terus meneliti hubungan antara stres dan fungsi kekebalan tubuh, tetapi sejauh ini bukan hubungan itu yang menjadi tujuan utama yang ingin diketahui dalam penelitian immunologi. Kalaupun ada, para peneliti pun kebanyakan menemukan kendala untuk melakukan “percobaan terkontrol” tingkat stres pada manusia. Dalam percobaan terkontrol, peneliti bisa mengubah satu faktor sehingga mengetahui pengaruhnya pada faktor lain. Sedangkan pengubahan satu faktor saja sangat sulit dilakukan pada manusia, terlebih untuk mengukur stres.
Meskipun demikian, banyak peneliti yang melaporkan bahwa situasi stres dapat mengurangi berbagai aspek dari respon imun seluler. Studi para ahli dari Ohio State University misalnya, menunjukkan bahwa stres psikologis mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan mengganggu komunikasi antara sistem saraf, endokrin (hormon) sistem, dan sistem kekebalan tubuh. Ketiga sistem "berbicara" satu sama lain menggunakan pesan-pesan kimiawi alami, dan harus bekerja dalam koordinasi yang erat untuk menjadi efektif.
Tim peneliti dari Ohio State ini berspekulasi bahwa stres jangka panjang menyebabkan tubuh mengeluarkan hormon stres - terutama glukokortikoid dalam jangka panjang. Hormon-hormon ini mempengaruhi timus, tempat limfosit (salah satu sel imun) diproduksi, dan menghambat produksi sitokin dan interleukin yang merangsang dan mengkoordinasikan aktivitas sel darah putih. Selain itu, berikut adalah laporan dari beberapa peneliti lain:
• Orang yang merawat pasien Alzheimer rata-rata memiliki lebih tinggi kadar kortisol, suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar adrenal, dalam tubuhnya. Kadar kortisol yang lebih tinggi membuat antibodi lebih lemah dalam menanggapi vaksin influenza.
• Aktivitas sel T telah ditemukan lebih rendah pada pasien depresi dibandingkan dengan pasien tanpa depresi, dan pada pria yang berpisah atau bercerai dibandingkan dengan laki-laki yang sudah menikah.
• Dalam sebuah studi tahunan, orang yang merawat suami atau istrinya yang menderita penyakit Alzheimer, memiiki perubahan fungsi sel T. Terutama bagi mereka yang memiliki lingkungan hubungan sosial yang sempit.
• Empat bulan setelah berlalunya badai Andrew di Florida, orang-orang yang tinggal di lingkungan yang paling rusak berat menunjukkan berkurangnya aktivitas di beberapa pengukuran sistem kekebalan tubuh. Hasil serupa ditemukan dalam studi karyawan rumah sakit setelah gempa bumi di Los Angeles.
Dengan melihat dari beberapa studi ini, mungkin ada hubungan antara stres dan daya tahan tubuh, namun keseluruhan studi belum menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.