Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/10/2013, 17:20 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com -Sebagian masyarakat Indonesia ternyata masih memiliki perilaku tidak sehat yakni buang air besar sembarangan (BABS). Hal ini dibuktikan lewat studi bertajuk Environment Health Risk Assessment (EVRA) pada 2013.

Studi yang dilakukan melalui kerja sama antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) itu menyatakan 49,5 persen masyarakat Indonesia masih terbiasa BABS. Studi tersebut dilakukan di 55 kabupaten dan kota peserta Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman (PPSP), dengan menyebarkan 400 kuesioner per kabupaten.

Salah satu provinsi yang masih memiliki budaya BABS adalah Banten. "Kalau untuk data detailnya saya tidak seberapa ingat. Namun memang Banten menjadi salah satunya," kata Kepala Sub Direktorat Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar, Direktorat PL Ditjen PP dan PL Kemenkes Eko Saputro, SKM, M.Kes pada temu media STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) untuk Perubahan Perilaku Higiene Sanitasi di Jakarta, Jumat (25/10/2013) kemarin.

Budaya BABS, kata Eko, harus ditekan serendah mungkin. Hal ini dikarenakan budaya BABS akan mempengaruhi kualitas air dan lingkungan sekitar. Air yang tercemar tinja berpotensi menyebarkan diare bagi penggunanya. Daerah dengan kebiasaan BABS tinggi, kata Eko, kemungkinan memiliki angka penderita diare cukup tinggi.

Eko mengatakan, umumnya masyarakat sudah mengerti kerugian melakukan BABS. Masyarakat juga mengerti manfaat yang diperoleh bila memiliki fasilitas sanitasi yang baik. Namun masyarakat tidak terbiasa menggunakan, sehingga masih melakukan BABS.

"Sebagian masyarakat merasa rumahnya kotor bila memiliki sanitasi sendiri. Pola pikir seperti ini harus diubah, dengan mempromosikan manfaat memiliki fasilitas sanitasi sendiri," kata Eko. Hal ini bisa dilakukan dengan kerjasama antara pemerintah daerah dan Kementrian Kesehatan RI.

Untuk membangun sanitasi yang layak tentu tidak dibutuhkan biaya mahal. Masyarakat, kata Eko, bisa bergotong-royong membentuk sanitasi komunal lengkap dengan septic tank kedap air.

Septic tank kedap air memungkinkan air dan kotoran tidak merembes keluar,sehingga kualitas air tetap terjaga. Septic tank kedap air bisa ditanam kurang lebih 10 meter dari sumur sumber air. Selanjutnya masyarakatbisa memelihara dan menjaga WC dan septic tank tersebut bersama.

"Perilaku seperti ini bisa diubah perlahan. Kita juga membantu dengan penyediaan WC yang digabung dengan septic tank seharga Rp. 900 ribu, sehingga mudah diperoleh masyarakat. Dengan ini diharapkan masyarakat tidak lagi BABS, " kata Eko.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com