Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/01/2015, 10:15 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KOMPAS.com - Pemberian obat antiretroviral (ARV) sedini mungkin pada anak yang terinfeksi HIV dapat membuat virus tidak terdeteksi sehingga anak bisa hidup sehat. Obat ARV ini harus dikonsumsi secara teratur setiap 8 jam dan terus diminum oleh anak seumur hidupnya. Hal itu kerap membuat anak bosan minum obat.

Natasya Evalyne Sitorus dari Yayasan Lentera Anak Pelangi yang melakukan pendampingan anak dengan HIV di Jakarta mengatakan, jika ARV tidak diminum secara teratur sesuai aturan maka virus HIV dalam tubuh bisa menjadi kebal. Akibatnya anak harus berpindah ke pengobatan ARV lini kedua.

"Orangtua atau orang yang merawat anak-anak tersebut biasanya juga kurang memahami hal ini. Mereka juga tidak menganggap ARV penting sehingga tidak diberikan tepat waktu," katanya dalam acara temu media yang diadakan oleh Pusat Penelitian HIV & AIDS Atma Jaya di Jakarta (8/1/14).

Karena harus terus menerus minum obat, menurut Natasya, kebanyakan anak menjadi jenuh. "Mereka juga belum tahu kalau dirinya terinfeksi HIV sehingga kesadaran untuk minum obat teratur masih rendah. Biasanya keluarganya hanya mengatakan si anak harus minum obat asma, jantung, atau disebut minum vitamin," paparnya.

Ia mengatakan, orangtua atau keluarga yang merawat anak dengan HIV seharusnya mendapatkan edukasi mengenai pentingnya pemberian ARV secara tepat. "Orangtua atau keluarga bisa mengatakan bahwa dalam diri anak ada virus yang membuatnya lebih gampang sakit, makanya harus minum obat setiap hari," ujarnya.

Data Kementrian Kesehatan menunjukkan, saat ini terdapat 2.026 anak di seluruh Indonesia yang mendapatkan terapi ARV. "Obat ini disediakan pemerintah secara gratis. Di Indonesia sudah ada 400 rumah sakit yang menjadi rujukan untuk mendapat ARV," kata Endang Bui Hartanti dari Subdit AIDS & PMS Kementrian Kesehatan, dalam acara yang sama.

Meski akses ARV bagi anak sudah makin membaik, tapi masih ada masalah pasokan terutama di daerah. Selain itu, menurut Natasya, terkadang rumah sakit tidak menyediakan ARV dalam formula pediatrik sehingga anak mendapatkan ARV dewasa yang dibuat dalam bentuk puyer. Padahal, menurut panduan WHO obat ARV tidak boleh digerus atau dipotong karena bisa mengurangi efektivitasnya.

"Hampir 50 persen anak dengan HIV masih mendapatkan obat ARV jenis D4T. Padahal obat ini akan ditarik oleh WHO karena efek sampingnya yang besar. Kita belum tahu apakah pemerintah akan segera menyediakan gantinya," katanya.

Chris W Green dari Yayasan Spiritia menjelaskan, pemberian ARV secara dini pada anak-anak, maksimal sejak usia 3 bulan, dianjurkan. "Anak berusia kurang dari 2 tahun harus diberikan ARV secepatnya kalau tidak 50 persen dari mereka akan meninggal sebelum berusia dua tahun," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau