Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korban Kekerasan Seksual Berisiko Terpapar Infeksi Menular Seksual

Kompas.com - 07/08/2015, 13:00 WIB
Kontributor Health, Dhorothea

Penulis


KOMPAS.com - Pria suka mengontrol dan kasar cenderung membuat wanita pasangannya mengalami seks berisiko. Kadar risiko itu meningkat berbarengan dengan perilaku kasar, demikian penemuan sebuah penelitian terbaru.

Penelitian itu diterbitkan di jurnal Sex Research edisi Juli. Studi tersebut meneliti pola perilaku seksual berisiko di antara pria heteroseksual usia 18-25, termasuk mereka yang melaporkan sendiri bersikap kasar dan atau punya perilaku mengontrol pasangannya dan mereka yang tidak demikian.

Riset menemukan, pria yang secara fisik dan seksual kasar terhadap wanita cenderung lebih berperilaku yang membuat diri dan pasangannya terpapar infeksi menular seksual, misalnya seperti menghindari kondom dan berganti-ganti pasangan seks.

Sebaliknya, pria yang tidak kasar secara fisik dan seksual, tetapi punya perilaku mengontrol seperti mendikte pasangan soal apa yang dapat dilihat atau dipakai, tidak lebih berisiko untuk terlibat dalam perilaku seksual berisiko, dibandingkan pria bukan pengontrol.

Para peneliti melakukan studi ini, untuk mengerti lebih baik kaitan antara kekerasan dalam relasi heteroseksual yang memengaruhi wanita secara tak proporsional dan berisiko secara seksual. Karena, hubungan seks heteroseksual tetap menjadi sarana utama penularan HIV kepada perempuan.

Riset sebelumnya memfokuskan pada kaitan antara kekerasan dalam sebuah hubungan dan risiko seks di antara perempuan, tetapi relatif sedikit yang diketahui mengenai perilaku seksual spesifik para pria yang terlibat dalam hubungan tersebut. Demikian kata penulis penelitian Erin Casey.

"Mengejutkan baru ada sedikit riset mengenai pria heteroseksual dalam lapangan kesehatan seksual," kata associate profesor kerja sosial di University of Washington Tacoma. "Riset cenderung berfokus pada wanita dan pria yang berhubungan seks dengan pria. Saya kira kita banyak membuat asumsi mengenai apa yang pria heteroseksual percayai dan lakukan," katanya.

Katherine Querna, mahasiswa PhD di universitas tersebut yang juga ikut meneliti mengatakan, peneliti ingin menguraikan perilaku seks individu dan abusif untuk mendapatkan gambaran lebih bernuansa bagaiama jenis kekerasan spesifik dapat mempengaruhi risiko-risiko seksual. Misalnya, peneliti berharap menemukan pria yang dilaporkan menggunakan perilaku pengontrol hanya akan menunjukkan peningkatan kadar perilaku seksual berisiko tetapi ternyata bukan itu hasilnya.

"Seksualitas adalah tempat orang-orang pengguna kekerasan mengontrol pasangannya, jadi mengisolasi perilaku tersebut mungkin dapat membantu kita mengerti soal itu," katanya.

Untuk mencari peserta penelitian, peneliti membuat iklan di internet mencari pasangan heteroseksual berbagai ras dan etnis dan mengundang para pria usia 18-25 di seluruh Amerika Serikat untuk berbagi pandangan pada sebuah survei di internet mengenai hubungan dengan perempuan.

Responden penelitian berjumlah lebih dari 300 yang dibayar 40 dolar untuk berpartisipasi. Mereka ditanyai, apakah menggunakan perilaku keras atau mengontrol dalam hubungannya. Mengenai perilaku seksual, ditanyai misalnya jumlah pasangan intim mereka dan apakah mereka membayar pekerja seks komersial.

Studi itu mengungkapkan tingkat kekerasan "yang sangat tinggi". Sekitar 37 persen peserta melaporkan menggunakan perilaku agresif secara fisik terhadap pasangan dan sekitar 29 persen mengatakan menggunakan pemaksaan seksual dalam hubungan mereka. Mayoritas, sebanyak 55 persen, mengakui menggunakan perilaku mengontrol, baik mengontrol saja atau dikombinasikan dengan perilaku kekerasan lain.

Penelitian ini menemukan perilaku seperti itu mungkin umum ditemukan di kalangan pria muda. "Kami perlu mengerti lebih dalam mengenai seberapa jauh perilaku pengontrol sifatnya normatif atau diterima dalam kelompok usia ini," katanya.

Secara keseluruhan, penemuan ini menyoroti pentingnya pertimbangan berbagai perilaku seksual dalam kekerasan rumah tangga dan program pencegahan seks berisiko. Selain itu, juga penting untuk disoroti perbaikan skrining seks berisiko dan pendidikan dalam program pemulihan untuk pelaku kekerasan rumah tangga dan korban.

"Hal ini meneguhkan pemikiran bahwa ketika kita mencoba mengukur risiko seksual, kita harus melihat pada banyak perbedaan perilaku seksual dan motivatornya," katanya. "Jika kita hanya melihat penggunaan kondom atau pernikahan monogami, kita mungkin ketinggalan kapal dan mungkin tak tahu risiko paparan penyakit seksual seseorang," imbuhnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com