Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Penanganan Anak Autisme dengan Structured Teaching

Hasil studi epidemiologis yang dilakukan selama 50 tahun terakhir oleh World Health Organization menunjukkan peningkatan prevalensi autism spectrum disorder (ASD) secara global.

Di Indonesia, jumlah individu dengan ASD belum diketahui dengan jelas. Pemerintah Indonesia melalui pemberitaan dari Kemenpppa, menyatakan bahwa penduduk Indonesia, dengan perhitungan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,14 persen, memperkirakan penyandang ASD di Indonesia sebanyak 2,4 juta orang dengan pertambahan penyandang baru 500 orang/tahun (Kemen PPPA, 2020).

Manifestasi ASD terlihat dalam gangguan komunikasi dan interaksi sosial, ketidaknormalan atau penyimpangan dalam sensorik, perilaku berulang dan berbagai tingkatan dalam kemampuan intelektual (Lord et al., 2020).

ASD tidak hanya dianggap sebagai kondisi medis yang menimbulkan keterbatasan, tetapi juga sebagai contoh variasi dalam neurologis manusia ('neurodiversity') yang menentukan identitas seseorang, dengan aset berupa kelebihan dan tantangan yang dimiliki dalam kemampuan kognitif (Lai et al., 2020).

Peningkatan jumlah individu dengan ASD dari waktu ke waktu menjadi daya tarik bagi ilmuwan.

Dalam tiga dekade terakhir, intervensi pada individu dengan ASD terkait dengan masalah dalam pendidikan, perilaku, dan perkembangan sering menjadi topik pembahasan (Siu et al., 2019).

Pemberian intervensi sedini mungkin sangat disarankan. Turner-Brown et al. (2016) menyebutkan bahwa intervensi dini bagi anak dengan ASD akan menjadi kesempatan untuk memperbaiki prognosis dalam jangka panjang.

Salah satu pendekatan yang memiliki bukti efektivitas yang cukup mendukung dalam penanganan anak dengan ASD adalah Structured Teaching, TEACCH, yang dikembangkan oleh Schopler dan teamnya di Universitas North Carolina.

Pendekatan ini menekankan pada kebutuhan dari tiap anak dan keluarga, kekuatan, dan ketertarikan dari anak dengan ASD yang tidak sama antara satu dengan lainnya.

Dengan kata lain, pendekatan ini bertujuan menciptakan kemandirian anak dengan memahami keunikan dari karakteristik anak.

Oleh karena itu diawal sebelum menggunakan pendekatan ini, penting bagi para orangtua maupun para praktisi untuk mengenali dan memahami kondisi dari masing-masing anak.

Ada empat elemen kunci dalam penggunaan pengajaran terstruktur TEACCH (McLay et al., 2019):

1. Organization of the physical environment/pengaturan fisik lingkungan

Pengaturan lingkungan sekitar bertujuan memberikan kejelasan bagi anak dengan ASD sehingga mampu memahami apa yang diharapkan lingkungan sekitar dan memfasilitasi peningkatan kemandirian.

Dalam pendekatan ini, penting untuk mengatur susunan ruangan berdasarkan pada kondisi anak dengan ASD.

Sebagai contoh adalah pengaturan di dalam ruang kelas, seperti mengatur letak furniture, membuat batasan, dan mengatur tujuan dari tiap area secara spesifik.

Pengaturan ruangan dapat meminimalkan gangguan dan meningkatkan kemandiriaan.

2. Visual structure and information/struktur visual dan informasi

Struktur visual dan informasi mengacu pada pengaturan secara struktur dalam penyajian tugas seperti kejelasan visual, pengaturan secara visual, dan instruksi visual.

Dengan memberikan informasi yang dapat dipahami secara visual, akan mempermudah anak dengan ASD memahami tugas dengan secara jelas dan bermakna.

Di dalam pendekatan ini, informasi visual dapat digunakan sebagai pengganti instruksi verbal. Hal ini dikarenakan anak dengan ASD memiliki keterbatasan dalam kemampuan bahasa reseptif.

Informasi visual bentuk penggunaannya tergantung dari kemampuan individu, dapat berupa dari list tertulis hingga jadwal visual bahkan objek nyata.

3. Task organization or daily schedule/pengaturan tugas atau jadwal harian

Pendekatan ini meyakini bahwa dengan memberikan jadwal dan mengatur tugas yang akan diberikan kepada anak dengan ASD dapat meningkatkan kemampuan individu dalam memprediksi aktivitas sehingga memperbesar pemahaman akan lingkungan.

Pengaturan tugas rutin dapat dilakukan dengan memberikan urutan jadwal secara visual. Hal ini dapat membantu individu memahami dan mengantisipasi keinginannya berdasarkan jadwal hariannya.

Dalam merencanakan pemberian aktivitas, harus memuat informasi yang mudah dipahami terkait di mana, kapan, dan kegiatan apa yang akan dilakukan.

Pemberian informasi aktivitas ini diberikan secara visual. Menurut pendekatan ini jika lingkungan tidak menyiapkan rutinitas aktivitas bagi anak dengan ASD, maka mereka akan cenderung mengembangkan rutinitas yang biasanya kurang adaptif dan tidak dapat diterima oleh lingkungan.

Meskipun pendekatan ini menekankan pentingnya rutinitas sebagai perantara dalam pembelajaran, namun fleksibilitas juga perlu diberikan sesuai kondisi anak.

4. Work system/sistem kerja

Sistem kerja dikenal juga sebagai “to do list”, digunakan di samping jadwal harian untuk mengatur struktur setiap aktivitas tertentu.

Sistem kerja dibutuhkan untuk menjelaskan atau menyampaikan tuntutan spesifik dari suatu tugas.

Sistem kerja bertujuan memberikan informasi pada anak dengan ASD akan tugas apa yang harus dilakukan, berapa banyak yang perlu dikerjakan, berapa lama aktivitas akan berlangsung.

Kemudian bagaimana mengetahui aktivitas tersebut telah selesai dan apa yang harus dilakukan setelah aktivitas tersebut selesai.

TEACCH merupakan salah satu intervensi pertama yang dirancang bagi anak dengan ASD (Sandbank et al., 2020) dan salah satu pendekatan paling comprehensive yang digunakan dalam intervensi pada anak dengan ASD (Humphrey & Parkinson, dalam Braiden et al., 2012).

Dalam menggunakan pendekatan structured teaching, ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan bagi para praktisi dan orangtua agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Pertama adalah orangtua dan praktisi/professional perlu memahami ‘culture of autism’ yang dimiliki oleh anak. Setiap anak memiliki keunikan dan kebutuhan masing-masing.

Kedua, penggunaan pendekatan ini memerlukan kerjasama dari seluruh pihak yang terkait dengan anak, seperti anggota keluarga inti, pihak sekolah, terapis, caregiver dan pihak-pihak yang terlibat langsung dengan anak.

Ketiga, untuk mendapatkan hasil maksimal perlu menerapkan pendekatan ini secara menyeluruh, yaitu keempat elemen kunci.

Terakhir, paling tidak intensitas dalam melakukan intervensi menggunakan standart dari low intensity, dengan melakukan intervensi 20 jam seminggu selama 2 tahun secara konsisten dan persisten, untuk dapat melihat keefektifan secara maksimal.

*Dr. Naomi Soetikno, M.Pd., Psi, Dosen dan Sekprodi S2 Fakultas Psikologi
*Noni, Mahasiswa S2 Fakultas Psikologi

https://health.kompas.com/read/2022/02/22/114710468/penanganan-anak-autisme-dengan-structured-teaching

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke