Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Infeksi Bukan Salah Kuman atau Lingkungan tetapi Soal Imunitas Tubuh

Kedua, terrain theory (teori lingkungan), di sini penyebabnya adalah lingkungan tidak sehat. Lingkungan banyak mengandung polusi. Baik itu polusi udara, air, suara, bahkan cahaya.

Teori kuman hingga saat ini lebih banyak didukung dalam dunia kedokteran. Tak heran, dalam penelitian dan praktik pelayanan, upaya pemberantasan kuman selalu jadi fokus. Pemberian antibiotik, antivirus, dan antiparasit selalu jadi pelengkap resep dokter.

Kayaknya dokter tidak pede kalau mengobati pasien tanpa antibiotik. Pemberian antibiotik sedemikian luas karena hampir semua penyakit dianggap memungkinkan terkontaminasi oleh berbagai kuman. Kontaminasi ini akan memperburuk kondisi penyakit.

Pandangan ini dibantah sangat keras oleh penganut teori lingkungan. Menurut para penganut teori lingkungan, mikroorganisme berfungsi sebagai pengurai. Dengan  adanya mikroorganisme, khususnya bakteri, semua zat sampah akan dipecah menjadi metabolit yang lebih sederhana dan dapat digunakan tubuh.

Infeksi merupakan upaya bakteri membersihkan zat sampah tersebut. Kerusakan sel lebih diakibatkan oleh adanya timbunan zat-zat kimia berbahaya dalam tubuh.

Zat-zat kimia ini yang akan mengakibatkan radikal bebas dan penuaan sel. Itulah sebabnya bakteri menginfeksi, untuk melepaskan zat-zat berbahaya tersebut.

Pendekatan terapinya tentu dengan menghindari sumber polutan. Mengonsumsi obat-obatan atau suplemen yang bisa mendetoksifikasi tubuh. Makan makanan yang bersifat probiotik dan prebiotik. Meningkatkan imunitas tubuh.

Sistem imunitas tubuh

Posisi autofagi di mana? Tidak keduanya. Dalam pembelajaran tentang autofagi justru ditemukan sumber penyakit adalah sistem imunitas tubuh. Sistem imunitas inilah yang jadi fokus mekanisme autofagi untuk diperbaiki.

Mengejutkan? Memang. Sistem imunitas ternyata lebih tepat dikatakan sebagai mekanisme respons tubuh.

Mirip istilah servo mekanis dalam kelas motivasi. Atau mekanisme pertahanan mental dalam psikiatri. Semuanya berkaitan dengan memori yang terbentuk sebagai adaptasi terhadap rangsang lingkungan.

Jangan berpikir memori hanya ada dalam pikiran saja. Dalam sel juga terdapat kecerdasan memori yang disebut kode genetik. Kode genetik ini terbagi dua menjadi DNA dan RNA.

Kode genetik itu akan berekspresi pada performa sel. Performa ini terutama digunakan untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Fungsi gen yang utama adalah memberikan instruksi sintesa berbagai macam protein dan peptida.

Selanjutnya protein-protein dan peptida-peptida ini  akan bereaksi secara enzimatis, berpasangan. Ketika suatu protein atau peptida bertemu dengan protein atau peptida lain yang merupakan pasangannya maka akan tercetus suatu reaksi, suatu gerak. Reaksi atau gerak ini tidak hanya satu tapi berantai.

Karena ketika satu sisi berpasangan dengan peptida atau protein lain, sisi lain terpicu untuk bereaksi dengan protein atau peptida lainnya. Ini yang terjadi pada reaksi antigen-antibodi. Bahkan hampir seluruh proses tubuh terjadi seperti itu.

Pada saat terjadi rangsang lingkungan mengakibatkan pelepasan protein atau peptida. Selanjutnya terjadi serangkaian reaksi sebagai responnya. Respon ini dapat menguntungkan atau merugikan integritas tubuh.

Jika reaksi ini tepat sasaran dan intesitasnya, maka dapat menjaga integritas tubuh. Jika reaksi ini tidak tepat, intensitasnya berlebihan atau kekurangan malah merusak integritas tubuh. Itu sebabnya servo mekanis atau sistem imunitas ini harus selalu dievaluasi dan disegarkan kembali.

Apakah servo atau sistem ini masih adaptif atau tidak. Jika tidak, perlu dirombak ulang. Jika masih adaptif, dipertahankan. Inilah fungsi autofagi.

Sayangnya, untuk merombak servo mekanis sel ini tidak mudah. Mengapa karena berkaitan dengan gen.

Gen yang berada diluar kromosom. Gen-gen itu yang mengatur respons sel. Gen ini juga memiliki sifat dasar survival. Sifat untuk mempertahankan eksistensinya.

Untuk mempertahankan eksistensinya beberapa gen bersatu. Dengan cara ini dapat menghindari pelepasan keluar sel.

Cara lain adalah  memanfaatkan zat-zat toksik. Beberapa gen mampu berikatan dengan zat toksik seperti merkuri. Perubahan-perubahan ini akan memengaruhi sintesa protein di ribosom. Meski jenis sel tidak berubah namun karakternya mungkin berubah. Jadi bersifat agresif terhadap sel lain. Inilah yang disebut sel kanker.

Sel dikuasai gen yang mempertahankan eksistensinya. Gen yang telah lama juga berespons kurang sesuai. Kadang sebuah rangsang kecil direspons berlebihan. Dikenal sebagai reaksi alergi. Tentu saja hal itu dimungkinkan karena ketersediaan energi di dalam sel. Bukan karena imunitasnya lemah.

Autofagi bekerja dengan cara mencerna organel sel. Organel sel yang dicerna pertama kali adalah gen ekstra kromosom. Mengapa? Karena hanya itu sumber gula yang tersedia.

Ingat DNA dan RNA mengandung gugus gula ribosa dan deoksiribosa. Dengan ketiadaan gen ekstra kromosom maka gen kromosom berada dalam kondisi survival, memicu upaya replikasi diri.

Hal ini yang sering diartikan para praktisi intermitten fasting sebagai aktivasi stem sel.

Akibat sel baru hasil replikasi masih memiliki kemampuan diferensiasi, tergantung dari stimulus yang diterimanya.

Munculnya sel-sel baru yang lebih segar. Itulah target akhir mekanisme akhir autofagi yang paling diharapkan. Hal ini dapat diartikan sebagai obat awet muda! Kondisi yang lebih adaptif dengan kondisi aktual.

Jadi jangan berpikir untuk memperkuat sistem imun atau servo mekanis tubuh. Yang lebih tepat adalah selalu memperbaharui sistem imun atau servo mekanis sesuai dengan kondisi aktual.

Pengobatan dini secara autofagi

Pada kondisi autofagi, agen infeksi seperti virus dan bakteri bukanlah ancaman. Karena agen infeksi adalah sumber gen yang kaya gula. Juga menjadi target pencernaan oleh lisosom.

Penerapan pengobatan dini secara autofagi sangat efektif pada penyakit infeksi. Jika terjadi infeksi sangat mudah sekali ditanggulangi. Tidak akan menyebabkan reinfeksi pada orang lain.

Pengobatan dini autofagi, tidak hanya bersifat kuratif, tapi juga preventif eradikatif. Mengapa? Karena agen infeksi akan dicerna, tidak diberi kesempatan untuk bereplikasi.

Pengobatan dini autofagi juga sangat murah, mudah dan rasional. Tidak menggunakan obat sama sekali. Hanya mengubah perilaku. Stop karbohidrat sementara waktu. Batasi waktu makan hingga jam 6 sore, agar tubuh beristirahat dalam kondisi hipoglikemia.

Kondisi ini yang memicu mekanisme autofagi. Tanpa obat apapun. Hanya dibutuhkan tenaga promotor kesehatan. Ini sudah ada di puskesmas. Fungsinya,  agar informasi ini sampai kepada masyarakat terbawah. Jauh lebih murah daripada metode penanggulangan infeksi yang ada saat ini.

Metode ini juga lebih memberdayakan bidan desa. Para bidan desa yang selama ini paling dekat berhubungan langsung dengan masyarakat. Bidan desa menjadi pengarah sekaligus pengawas benar tidaknya pelaksanaan metode ini.

Metode ini juga dapat mengatasi persoalan resistensi kuman. Resistensi kuman terjadi akibat peresepan antibiotik yang tidak rasional.

Setiap tahun kasus resistensi kuman semakin membengkakan biaya kesehatan. Kuman yang sebelumnya teratasi dengan satu jenis antibiotik menjadi kebal dan butuh multi-antibiotik.

Yang terpenting dapat merubah kebiasaan. Tidak terburu-buru minum obat saat sakit. Juga tidak pula membiarkan keluhan sakit tanpa penanganan.

Membiasakan pendekatan metode pengobatan dini memberikan banyak efek. Selain dampak kesehatan yang lebih baik, juga meningkatkan kualitas ekonomi. Hal ini terjadi akibat menurunnya pengeluaran untuk biaya kesehatan.

Jadi mengapa tidak untuk pengobatan dini autofagi. Selain mudah, murah dan rasional, juga memberikan keuntungan secara ekonomi. Salam, semoga menjadi inspirasi hidup sehat

https://health.kompas.com/read/2022/08/24/121606368/infeksi-bukan-salah-kuman-atau-lingkungan-tetapi-soal-imunitas-tubuh

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke