Keunggulan telemedisin adalah mengatasi kendala jarak, menghemat biaya dan waktu, serta meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Telemedisin akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari banyak orang. Kapan saja seseorang mengalami gangguan kesehatan, ia akan membuka platform atau aplikasi telemedisin di gawainya, memilih dokter yang sesuai dengan keluhannya, kemudian memilih waktu untuk berkonsultasi.
Setelah mentransfer biaya, maka konsultasi pun dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang disepakati. Bisa saat itu juga jika dokter yang dituju sedang berjaga atau online.
Dokter lalu memeriksa keadaan pasien dengan mengajukan pertanyaan dan meminta pasien untuk mengukur suhu badan, tekanan darah, dsb, serta memeriksa catatan medis pasien.
Dokter bisa menyarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan tambahan di laboratorium, atau konsultasi ke dokter spesialis. Atau bisa langsung memberikan resep dan mengirimkannya secara elektronik ke apotek yang dikehendaki pasien.
Perkembangan Telemedisin
Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang lebih maju dalam mengembangkan metoda telemedisin dibandingkan banyak negara lain.
NASA mengembangkan teknologi tercanggih untuk memantau kesehatan astronot di ruang angkasa pada awal tahun 1960-an.
Pada tahun 1967, berhasil dilakukan komunikasi jarak jauh antara dokter di Klinik Logan, Boston, dan pasien di Rumah Sakit Umum Massachusetts melalui sarana telekomunikasi (Andrianto dan Fajrina, 2021).
Ini awal dari perkembangan telemedicine atau telehealth yang lebih umum. Telemedisin pun berkembang pesat sejalan dengan penemuan internet pada 1990-an.
Merebaknya pandemi Convid-19 pada 2020-2021, mendorong penggunaan telemedisin semakin luas karena ada pembatasan mobilitas dan orang khawatir tertular virus jika pergi ke rumah sakit.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan penggunaan telemedisin meningkat lebih dari 154 persen pada akhir Maret 2020, dari keadaan setahun sebelumnya.
Praktik telemedisin juga berkembang di negara-negara lain, baik negara maju maupun negara berkembang (seperti India, Malaysia, dan Thailand).
Di Indonesia, upaya menerapkan telemedisin telah dirintis oleh berbagai pihak, walau dalam skala terbatas.
Banyak eksperimen dilakukan untuk menghubungkan fasilitas kesehatan dengan fasilitas kesehatan lain, seperti antara rumah sakit, atau antara rumah sakit di kota besar dengan puskesmas di pedalaman.
Salah satu contoh adalah penyelenggaraan telekonferensi pada tahun 1997 antara Fakultas Kesehatan dan Fakultas Teknik UNJANI Bandung dengan RS Pusat Mataram (NTB) dan RS Harapan Kita, Jakarta (Fatmawati, 2021). Telekonsultasi antara rumah sakit terbantu oleh peluncuran satelit Palapa.
Praktik telemedisin untuk umum oleh penyedia layanan kesehatan swasta mulai berkembang sekitar tahun 2016. Saat ini terdapat belasan platform layanan kesehatan digital yang tergabung dalam Asosiasi Telemedik Indonesia (Atensi).
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan meluncurkan aplikasi Telemedicine Indonesia (Temenin) pada 2017.
Temenin memberikan jasa pelayanan tele-radiologi, tele-EKG, tele-USG, dan tele-konsultasi, dengan menghubungkan 39 rumah sakit pengampu dan 115 rumah sakit dan puskesmas yang diampu.
Ketika Covid-19 mewabah, lonjakan kunjungan ke platform telemedisin meningkat hingga 600 persen (Kompas.id, 8/2/2021). Kementerian Kesehatan pun melibatkan platform angkutan Gojek dan Grab dengan platform telemedisin Halodoc dan Good Doctor untuk melayani permintaan penanganan Covid-19 dari rumah.
Regulasi Telemedisin
Di Amerika Serikat, peran American Telemedicine Association-ATA (berdiri tahun 1993) cukup besar dalam perkembangan telemedisin (Andrianto dan Fajrina, 2021).
ATA merupakan lembaga nirlaba yang menghimpun berbagai pihak (tenaga medis, akademisi, perusahaan swasta dan pemerintah) untuk memajukan telemedisin.
ATA membuat pedoman untuk penyelenggaraan telemedisin agar berkualitas dan semakin luas jangkauannya, seperti telemental health, teleICU, home telehealth & remote monitoring, teledermatologi, telerehabilitation, telestroke, dll.
Kini regulasi telemedisin di AS menjadi komprehensif sekaligus kompleks. Setiap negara memiliki peraturan sendiri-sendiri. Konon tidak ada peraturan federal tentang telehealth/telemedisin yang berlaku secara nasional.
Di Indonesia, regulasi tentang telemedisin tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Beberapa peraturan tersebut di antaranya sebagai berikut.
Dapat disimpulkan bahwa regulasi tentang telemedisin di Indonesia saat ini cenderung terpencar, kurang rinci, dan tidak lengkap. Beberapa masalah regulasi telemedisin dapat diringkas sebagai berikut.
Pertama, Permenkes 20/2019 mengatur tata cara penyelenggaraan telemedisin antara fasilitas pelayanan kesehatan, namun tidak mengatur pengobatan jarak jauh antara dokter dengan pasien.
Kedua, belum ada peraturan tentang persyaratan dokter yang berpraktik dalam telemedisin, apakah harus memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) sebagaimana persyaratan dokter yang berpraktik secara tatap muka.
Dokter yang berpraktik telemedisin dapat berada di Jakarta, sementara pasiennya dapat berada di Manado.
Permenkes 512/Menkes/per/IV/2007 menyatakan bahwa pengajuan permohonan SIP ditujukan kepada Kepala Dinas kesehatan di tingkat kabupaten/kota tempat dimana praktik kedokteran akan dilaksanakan.
Ketiga, belum ada ketentuan apakah Informed Consent, yaitu pemberian ijin pasien kepada dokter untuk melakukan tindakan diagnosa dan sebagainya harus dibuat secara tertulis sesuai Permenkes 290/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, ataukah cukup legal jika disampaikan secara lisan dalam praktik telemedisin.
Keempat, Permenkes 269/2008 tentang Rekam Medis menyatakan bahwa penyelenggaraan rekam medis dengan menggunakan teknologi informasi elektronik diatur lebih lanjut dengan peraturan tersendiri.
Namun peraturan ini belum ada hingga saat ini, padahal rekam medis sangat penting dalam metoda telemedisin.
Kelima, apakah pemeriksaan fisik dalam telemedisin dapat dianggap memenuhi persyaratan dalam pasal 35 Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran? Jika tidak, maka peraturan itu perlu direvisi, agar praktik telemedisin tidak dianggap melanggar undang-undang.
Keenam, hingga saat ini layanan telemedisin tidak ditanggung oleh BPJS. Mungkin ada kekhawatiran bahwa penggantian biaya telemedisin akan membebani keuangan BPJS.
Potensi moral hazard jika telemedisin ditanggung BPJS dapat diatasi dengan berbagai cara, antara lain dengan membatasi waktu konsultasi, misalnya 36 jam per peserta per tahun.
Dengan demikian, peserta BPJS akan lebih merasa tenang karena kapan saja mengalami sakit, ia dapat berkonsultasi dengan dokter tanpa memikirkan biaya, yang bisa di luar kemampuannya.
Prospek
Telemedisin akan menjadi bagian dari cara orang menjaga kesehatan atau mengobati penyakit.
Survei McKinsey & Company tahun 2020 menyebutkan bahwa sebanyak 76 persen konsumen tertarik dalam menggunakan telehealth/telemedicine masa mendatang. Setahun sebelumnya, minat konsumen hanya sebesar 11 persen.
President Mayo Clinic Platform John D Halamka menyatakan bahwa 60 persen lebih aspek pelayanan kesehatan akan menjadi virtual pada masa new normal (Kompas.id, 16/7/2020).
Otoritas kesehatan nasional Inggris, yaitu National Health Service (NHS) pada Oktober 2019, menyatakan bahwa teknologi akan berdampak pada layanan kesehatan, yakni akan lebih banyak berbasis digital, berdasarkan pembacaan genom, serta dilakukan dengan bantuan kecerdasan buatan dan robot (Moedjiono, 107/2020).
Semua prediksi tersebut mengarah pada prospek yang positif dari telemedisin. Maka menjadi keharusan bagi pemerintah untuk melengkapi regulasi telemedisin.
Regulasi itu mempunyai dua tujuan: melindungi pasien dan dokter sekaligus mendorong perkembangan layanan telemedisin termasuk teknologi yang terkait, sebagai alternatif sarana pengobatan masyarakat.
Tersedia waktu dua tahun bagi Pemerintah dan DPR periode sekarang untuk melengkapi regulasi tentang telemedisin. Semoga waktu tidak berlalu begitu saja.
https://health.kompas.com/read/2022/11/04/100000668/regulasi-telemedicine-jangan-terlambat