Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lupus Renggut Nyawa dan Wisuda Tini

Kompas.com - 28/02/2009, 17:07 WIB

Laporan Leo Prima, wartawan Tribun Pontianak

PONTIANAK, TRIBUN - Kursi nomor 95 di deretan wisudawan Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura (Untan) terlihat kosong saat gladi resik wisuda di Auditorium Untan, Jumat (27/2). Wisuda digelar pada Sabtu (28/2) ini.

Supartini ST yang seharusnya duduk di kursi itu. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Ia meninggal sebulan lalu, tepatnya Jumat (23/1), akibat penyakit lupus yang menggerogoti tubuhnya lima tahun terakhir.

Sejak 2000, Supartini mengenyam pendidikan di Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Untan. Tiga tahun berselang, dia mulai mengidap lupus, penyakit yang belum ada obatnya. "Sejak semester enam dia mulai sakit. Tapi, dia tidak pernah mengeluh," kata Hj Yustina Sa'u, ibu Supartini, kepada Tribun di rumahnya, Jl Paris II Gang Muslimin II Kota Pontianak, Jumat (27/2).

Lima tahun Supartini berjuang melawan lupus yang menggerogoti tubuhnya. Dia pun cuti dua semester karena kondisi kesehatannya terus menurun.  "Dia berobat di sejumlah rumah sakit. Bahkan sempat dirawat di rumah sakit PMI Bogor," kata Ngatno Karyosetiko, ayahnya.
Semangat Supartini menyelesaikan kuliah sangat kuat. Meski harus keluar masuk rumah sakit, bahkan sempat menderita kelumpuhan, dia terus berjuang meraih gelar sarjana teknik.
"Awalnya dia hanya sakit-sakit biasa. Tapi, pada 2004, dr Yustar mendiagnosa bahwa anak kami menderita lupus. Tiap  bulan dia harus kontrol kesehatan," tutur Yustina, mengenang putri bungsunya.

Dalam kata pengantar skripsinya, Supartini mengucapkan terima kasih kepada beberapa dokter spesialis penyakit dalam, antara lain dr Yustar Mulyadi, dr Willy Brodus Uwan, dr H Soni Yusuf Wibisono, dan dr Nofi (tim medis dari RS PMI Bogor).

Semangat hidup Supartini yang kuat, akhirnya bisa menyampaikan niatnya mengikuti sidang skripsi.  Dia mempertahankan skripsi berjudul "Pengaruh Terumbu Karang sebagai Agregat Halis dan Filler pada Campuran Hot Rolled Sheet (HRS)" pada 23 Oktober 2008.
Berkat semangatnya menuntut ilmu, Supartini berhasil memperoleh hasil sangat memuaskan.

"Dia mendapat nilai A saat sidang skripsi. Tapi, sejak itu kesehatannya terus menurun. Dan, dia sering memberi saya cerita kenangan," kata Yustina dengan nada sedih.

Menurut Yustina, Tini --panggilan akrab almarhumah-- sering berpesan kepada dirinya. "Mak, mudah-mudahan nanti Tini bisa ikut wisuda. Toganya beli jak ye Mak (Toganya dibeli saja ya Mak, Red). Jangan dipinjam. Ini mungkin kenang-kenangan terakhir untuk Emak," kata Yustina menuturkan apa yang dikatakan Tini kepadanya.

Yustina yang menyadari keadaan anaknya hanya bisa berharap. "Semangat hidupnya begitu kuat. Namun ketika dia selesai sidang skripsi dan hanya menunggu wisuda, ia kerap memberi saya pertanda," ungkapnya.

Pertengahan Januari 2009, Tini kembali masuk ke RSS Antonius Kota Pontianak. Dia dirawat intensif di ruang ICCU. "Kondisinya terus memburuk. Padahal, kami telah berusaha semaksimal mungkin," ujar Ngatno.

Hingga pada akhirnya, keluarga berinisiatif untuk memakaikan toga ke Tini, Kamis (22/1). Keluarga kemudian mengusahakan toga dan meletakkannya di atas tubuh Tini yang sudah beberapa hari koma.

Sejumlah anggota keluarga sempat berfoto bersama Tini yang sedang koma dan memakai toga. Ngatno dan anggota keluarga lain yang menyaksikan hal itu tak sanggup menahan air mata. Keluarga di ruang perawatan di RSS Antonius itu pun terharu.

Keesokan harinya, Jumat (23/1), Tini mengembuskan nafas terakhirnya. "Setelah dia kami pakaikan toga, saya katakana kepada dia, agar tidak memberatkan wisuda. Kalau mau pergi, pergilah, Nak," ujar Yustina terputus-putus. Ibu empat anak ini menangis saat mengingat hari terakhir anaknya itu.

Yustina kini telah dimakamkan di Pemakaman Muslim BLKI. Kursi kosong di Auditorium Untan itu sengaja disiapkan panitia, karena Tini telah mendaftar untuk ikut wisuda pada Sabtu hari ini bersama 1.032 wisudawan baru.

Seribu Wajah
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, dr Asroruddin, menjelaskan, hingga saat ini penyakit lupus belum ditemukan obatnya. "Gejala penyakit ini banyak. Mulai yang terkecil sampai terparah," ujarnya saat dihubungi Tribun, Jumat.

Asroruddin menjelaskan, gejala lupus sangat beragam, karena itu lupus juga disebut penyakit seribu wajah. "Gejalanya bisa anemia atau yang lainnya seperti badan membengkak. Kalau gejala yang paling parah, itu gagal ginjal," katanya.

Dia berpesan, jika ada masyarakat yang keluarganya mengidap gejala beberapa penyakit, segera menghubungi dokter atau ke rumah sakit terdekat. "Semakin cepat diperiksa, makan semakin cepat diagnosanya, " ujarnya. (lpr/nip)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com