Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

The Art of Forgiving

Kompas.com - 09/03/2009, 17:54 WIB

Anda mungkin masih belum dapat memaafkan seseorang yang pernah sangat dekat dengan Anda. Padahal, kejadiannya sudah berlalu bertahun-tahun lalu. Namun, Anda juga masih belum bisa melupakan orang tersebut beserta kenangan-kenangannya. Pertanyaannya: Apakah kita sebaiknya perlu melupakan (forget) terlebih dahulu untuk bisa akhirnya memaafkan (forgive)? Ataukah justru sebaliknya?

Sebenarnya, berbicara soal memaafkan tidak bisa lepas dari konsep "forgiveness" itu sendiri. Forgiveness dapat berarti dua hal: meminta maaf dan memaafkan. Untuk melakukan dua tindakan tersebut, ada beberapa elemen yang dilibatkan, seperti korban, pelaku, dan berbagai jenis serta tingkat trauma, luka, atau ketidakadilan.

Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Leonard Horwitz, seorang ahli psikoanalisa dari Greater Kansas City Psychoanalitic Institute. Sedangkan Enright and Human Development Study Group (1996) menyebutkan bahwa tindakan forgiveness selalu berkaitan dengan tiga aspek. Yang pertama memaafkan orang lain, lalu menerima permintaan maaf dari orang lain, dan terakhir memaafkan diri sendiri. Untuk mencapai tataran forgiveness seutuhnya, ketiga aspek tersebut harus tercapai semua. Sayangnya, kita tidak dapat selalu mendapatkan ketiga aspek tersebut di dalam kehidupan sehari-hari.

Forgiveness memiliki berbagai manfaat, baik secara psikologis maupun kesehatan. Di antaranya adalah memperbaiki hubungan yang renggang antarindividu, menyembuhkan luka batin yang dalam, pemulihan bagi korban maupun pelaku, serta sebagai sarana untuk pengembangan diri ke arah yang lebih baik. Orang yang sulit untuk memaafkan atau meminta maaf ternyata lebih rentan terhadap berbagai gangguan psikologis. Selain itu, mereka juga sulit untuk bisa mempertahankan tingkat kesehatan mental di hari tuanya.

Jangan pelit memaafkan

Mengampuni seseorang tidak langsung terjadi saat kita telah mengucapkan, "Ya, saya maafkan." Setidaknya, forgiveness bekerja melalui dua cara:

1. Kurangi stres yang muncul akibat dari keputusan untuk tidak memaafkan yang selalu diliputi oleh berbagai emosi, seperti sakit hati, kemarahan, agresivitas, kebencian, penolakan, dan ketakutan akan disakiti atau dipermalukan kembali. Jika emosi-emosi tersebut tidak diredakan, akan muncul gangguan-gangguan yang bersifat fisiologis. Misalnya meningkatnya tekanan darah dan perubahan struktur hormonal yang berhubungan erat dengan gangguan fungsi jantung, gangguan kekebalan tubuh, dan gangguan fungsi saraf dan ingatan.

2. Mencoba memaafkan. Di sinilah kita mungkin akan mengalami masalah, jika kita tipe orang yang sulit memaafkan orang lain. Seseorang yang pendendam dan pelit memaafkan biasanya sulit untuk membina hubungan jangka panjang dengan orang lain. Sebab hubungan yang telah terbina dapat rusak akibat kesalahan kecil. Setelahnya, orang lain pun akan sulit untuk mendekati dirinya karena telah melihat betapa buruknya caranya berelasi dengan orang lain. Lebih lanjut, orang yang sulit memaafkan atau meminta maaf, dan memiliki kebiasaan gemar mengungkit-ungkit kesalahan orang lain, berpeluang lebih besar mengalami masalah kesehatan fisik dan juga mental.

Memaafkan butuh proses

Ahli teologi bernama Doris Deonneley mengatakan bahwa proses forgiveness membutuhkan langkah-langkah sebagai berikut:

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau