Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hilangnya Ujian Mengarang

Kompas.com - 18/10/2010, 14:28 WIB

Oleh Junaidi Abdul Munif

Bahasa Indonesia adalah pelajaran "kelas dua" dalam kurikulum pendidikan di Indonesia meski termasuk pelajaran yang masuk kategori wajib ujian nasional. Bahasa Indonesia memang diakrabi sehari-hari sebagai bahasa pengantar pelajaran di sekolah, materi kuliah, media massa, diskusi, film, sinetron, lagu, dan pengantar komunikasi di ruang publik, terutama di kota.

Bahasa Indonesia dikondisikan sebagai pelajaran "legalitas-formalitas" karena bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia diharapkan menjadi jembatan penghubung berbagai suku di Indonesia untuk meneguhkan nasionalisme sebagai imagined communities.

Buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia kini hadir dengan gaya mengulas teknis berbahasa dengan baik dan benar secara teoretis. Bahasa Indonesia pun mirip ilmu eksak linguistik yang dipenuhi dengan rumus-rumus bagaimana membuat kalimat yang benar dan mengikuti kaidah EYD dan SPOK (subyek-predikat-objek-keterangan). Pelajaran Bahasa Indonesia meninggalkan ruang imajinasi, kreasi, dan nalar siswa yang potensial menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang asyik, menarik, dan integratif dalam komunikasi siswa.

Mengarang sebagai bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia pada titik tertentu sering menjadi momok bagi siswa. Jika selama ini pelajaran yang menjadi momok sering disematkan untuk pelajaran eksakta (Matematika, Fisika, Kimia), maka tampak lucu jika mengarang juga menjadi momok. Ini menandakan bahwa masyarakat kita sedang mengidap masalah akut jika untuk berimajinasi (mengarang) saja tidak bisa!

Menurut teman yang seorang guru Bahasa Indonesia, mengarang hanya menjadi "subkecil" dari pelajaran bahasa Indonesia. Mengarang ditampilkan dalam menulis pengalaman pribadi, cerpen, skenario, dan lain sebagainya. Yang lebih ironis, dalam ujian, tes semester, dan UN, siswa disodori soal pilihan ganda yang meniadakan ruang berpikir kreatif dan imajinatif yang dimiliki siswa. Mengarang bukan prioritas dalam ujian nasional.

Bandung Mawardi (Lampung Pos, 9/6/10) berhasil melacak bagaimana buku pelajaran Bahasa Indonesia tahun 1940-1960-an jauh berbeda dengan buku pelajaran di era Orde Baru. Buku pelajaran karangan KSt Pamoentjak dan MJ Halim (Tjendrawasih: Kitab Batjaan untuk Sekolah Rendah; 1949) banyak berisi cerita, syair, percakapan. Sedangkan BM Nur dan WJS Poerwadarminta (Bahasaku: Kitab Peladjaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Rakjat; 1957) yang berisi latihan menatap, menyimak, merangkai kalimat, ceritakan dengan bahasamu sendiri, dan mengarang!

Materi tersebut secara tak sadar telah membuat pelajaran Bahasa Indonesia dibuat sedekat mungkin dengan kehidupan siswa. Bandingkan dengan buku pelajaran Bahasa Indonesia yang sekarang justru membuat siswa berjarak dengan bahasa Indonesia.

Keliru

Mengarang selama ini masih diasosiasikan sebagai pekerjaan "orang yang tak punya pekerjaan jelas". Hanya pekerjaan anak-anak yang "aneh". Lebih baik bermain layang-layang, gundu, dan permainan yang mengasah aspek kognisi. Atau belajar ilmu-ilmu sains, eksakta, kedokteran, karena itu lebih menjamin masa depan anak. Maka sejak kecil anak dituntun dengan cita-cita dokter, insinyur, akuntan, arsitek, yang lebih menjanjikan masa depan (uang).

Mengarang erat kaitannya dengan komunikasi, baik tulisan atau pun lisan. Bagaimana seseorang menyampaikan gagasan, keinginan, kegundahan, dan segala perasaan yang dia rasakan. Semua itu memerlukan seperangkat bahasa yang baik agar menghasilkan output yang baik pula. Masyarakat yang jauh dari bahasa, kering diksi, akan memunculkan masyarakat yang kaku dalam berkomunikasi.

Pada titik tertentu, kegagalan berkomunikasi akan melahirkan sikap anarkis sebagai bahasa untuk menyampaikan perasaan. Habermas dalam The Theory of Communicative Action merumuskan sebuah perubahan sosial masyarakat yang selama ini dikendalikan oleh media, uang, penguasa, dan kapitalisme. Masyarakat, karena tidak tumbuh dalam kultur berbahasa yang imajinatif-reflektif, akhirnya hanya menjadi obyek yang dikendalikan.

Generasi muda, anak-anak sekolah, karena miskin perbendaharaan kata dan tak bisa "teori dan praktik" mengarang, memilih meluapkan emosinya pada kata-kata destruktif, pemberontakan di tembok-tembok, kamar mandi sekolah, dan ruang publik tempat mereka bisa "eksis". Sekolah, rumah, lingkungan tak menyediakan ruang untuk menyampaikan pendapat secara elegan.

Kalau di sekolah mereka diajarkan untuk mengarang, tentang pengalaman, perasaan, harapan, cita-cita, bahkan apa yang tidak disukainya, ini akan menjadi cara bagi seorang guru untuk memahami karakter dan permasalahan psikologis siswa. Sebab, anak-anak seusia remaja cenderung menyampaikan perasaan dengan apa adanya. Belum ada manipulasi cerita, dramatisasi kisah, dan lain sebagainya yang membuat cerita menjadi benar-benar fiktif.

Saat saya masih SD dan SMP, dalam ujian Bahasa Indonesia masih ada mengarang. Meski bentuknya adalah menceritakan gambar. Ada empat gambar yang merupakan rangkaian peristiwa dan kita dipaksa untuk menceritakan gambar tersebut. Seperti menjelaskan ilustrasi. Namun, saat itu banyak teman yang merasa kesulitan untuk mengarang.

Dari sini bisa dipetik pelajaran, sudah ada sedikit upaya untuk merangsang imajinasi siswa lewat pemberian gambar berantai. Semestinya untuk pelajaran mengarang, siswa benar-benar dibebaskan mengarang apa saja, tentu dalam norma dan moralitas.

Albert Einstein, fisikawan yang dijuluki manusia tercerdas abad ke-20, adalah seorang pembaca sastra yang sering diasosiasikan sebagai hasil karangan dan imajinasi manusia. Semua mimpi besar, penemuan-penemuan teknologi adalah hasil karya (produk) yang muncul dari sebuah imajinasi yang dihadirkan lewat karangan.

Orang berimajinasi, bagaimana manusia bisa terbang, berbicara dengan orang yang terpisah jarak. Lalu sains menangkap itu sebagai penemuan pesawat terbang dan telepon. Betapa sains dan imajinasi adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Sains berkembang karena adanya imajinasi yang tak terbatas.

Sejarah melupakan bagaimana pendiri bangsa ini adalah para pengarang juga. The founding fathers Indonesia; Tan Malaka, Soekarno, M Yamin, dan lain-lain adalah pengarang-pengarang besar yang tidak kehilangan sensibilitasnya sebagai politisi (pejuang) yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari karangan, imajinasi, mimpi besar itu bisa terwujud. JUNAIDI ABDUL MUNIF Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com