Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Kisahku Melawan Jeratan Kanker Payudara, Bagian 1

Kompas.com - 27/10/2010, 17:02 WIB

Dua hari kemudian, ibu saya datang. Ia datang dan memeluk saya, tapi saya tidak kuat terima pelukannya. Badan saya sakit bukan main. Ibu saya menangis melihat saya. Karena melihat begitu, saya marah kepada adik saya, "Sudah, kamu bawa ibu pulang, saya tidak bisa melihat ibu sedih. Kalau saya lihat orang lain sedih, saya lebih sedih." Akhirnya ibu dan teman-teman saya cuma lewat telepon dan sms.

Saya Berubah

Aslinya, saya orang yang penggembira. Melihat saya sedih, jadi terasa bukan saya. Hari ke-17, saya merasa aneh. Begitu saya bangun, saya melihat ke bantal saya. Lalu saya melihat sebagian dari rambut yang tadinya ada di kepala saya sudah tergeletak di bantal. Saya berkaca, saya ingin menangis. Botak sana, botak sini. Lalu saya telepon dokter yang di Malaka. Saya tanya, "Dok, mengapa begini cepat?" Lalu ia cuma menjawab, "Aduh, saya lupa bilang sama kamu, dampak pada orang-orang itu berbeda. Saya kira tidak akan terjadi di bulan pertama. Ternyata di kamu lebih cepat." Saya tanya lagi, "Ini akan tumbuh lagi, enggak?" Ia menjawab, "Saya enggak bisa jawab. Mintalah kepada Tuhan." Langsung saya telepon penata rambut saya untuk ke rumah.

Begitu dia lihat saya, dia menangis, "Haduh, ini kenapa begini?" Saya minta cukur sampai habis, dan ia mencukur sambil menangis. Saya cuma bilang, "Nanti, kalau tumbuh lagi, saya minta datang ke rumah, ya." Tetapi saya enggak minta ia datang lagi berbulan-bulan.

Yang lebih menyedihkan lagi, biasanya saya kuat pergi sendiri ke kamar mandi. Padahal kamar mandi saya dekat, jadi kalau saya mau muntah, gampang, tinggal jalan. Minggu kedua kemoterapi, saya sudah tidak kuat jalan ke kamar mandi. Akhirnya saya tinggal di kamar mandi. Di sana, aktivitas saya antara buang air besar atau muntah. Padahal sudah dikasih obat anti muntah, tak ada pengaruhnya. Kembali lagi dokternya bilang, efek pengobatan berbeda tiap orang.

Akhirnya saya cuma bisa berdzikir, berdzikir, dan pasrah. Untungnya, pembantu saya baik dan pengertian. Setiap kali saya muntah, ia bikinkan jus. Jusnya bermacam-macam. Ada apel, pir, anggur, dan dicampur Pocari Sweat. Apa saja masuk, asal saya mau. Karena saya tidak bisa makan. Mencium bau makanan saja saya sudah tidak kuat. Hanya mencium makanan saja saya sudah muntah, padahal belum melihat makanannya. Terus-terusan saya diberi jus begitu kelar muntah oleh pembantu saya. Saya sangat berterima kasih sekali sama dia.

Kemoterapi pertama lewat, saya harus kembali lagi. Setelah dicek lagi, ternyata metastase di paru-paru saya sudah berhenti. Dokter saya berusaha mempertahankan dan dia berpendapat harus dikemoterapi lagi. Saya tanya, "Dok, semua sama lagi? Berulang lagi?" Dengan semangat, ia menjawab, "Ya, sama. Semuanya kembali seperti yang pertama." Kemoterapi saya yang kedua pun terjadi, semua sakit tadi berulang lagi. Kulit saya sudah berkeriput semua, jadi berwarna abu-abu. Tangan saya menghitam. Ya, saya nikmati. Periksa lagi, mengecil lagi kankernya. Lalu kemoterapi ketiga, masih saya coba nikmati.

Bersambung... Dokter Berani Operasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com