Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lorong Gelap Kemajuan Sulawesi Selatan

Kompas.com - 15/05/2011, 03:45 WIB

KOMPAS.com - Setiap daerah selalu memiliki dua sisi, bak gedung bertingkat yang bersisian dengan lorong gelap tempat yang miskin berdiam. Bagi Sulawesi Selatan, di tengah euforia pertumbuhan ekonomi yang diklaim mencapai 9,2 persen, tingkat prevalensi balita dengan gizi buruk mencapai 6,4 persen.

Hasil ini ibarat tamparan bagi Sulsel yang baru saja didapuk sebagai provinsi dengan penyelenggaraan pemerintah terbaik ke-2. Di provinsi yang surplus berasnya mencapai 1,8 ton ini, masih ada anak yang makan pun susah.

Riset Kesehatan Daerah Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2010 mencatat Sulsel tergolong provinsi dengan tingkat prevalensi gizi buruk tinggi, bersama dengan Nusa Tenggara Barat (10,6 persen), dan Nusa Tenggara Timur (9 persen). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkenankan tingkat gizi buruk setinggi-tingginya 5 persen.

Empat daerah di Sulsel yang dikategorikan kantong gizi buruk ialah Makassar, Pengkep, Jeneponto, dan Maros. Tidak usah bicara soal persentase tingkat gizi dulu. Cobalah sesekali datang ke Kecamatan Mariso, Kota Makassar. Anak-anak usia 6-12 tahun sudah terbiasa tidak makan.

Sejak usia dini, mereka sudah bekerja membantu orangtuanya yang nelayan. Telur, susu, apalagi madu tidak pernah ada dalam daftar makanan mereka. Tak jarang mereka meminta-minta uang kepada orang asing yang datang hanya untuk membeli sebungkus mi instan.

Jadi, apa hubungannya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan perbaikan gizi masyarakat? Kepala Seksi Bina Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Sulsel Astati Mada Amin diam sejenak sebelum menjawab, Pertumbuhan ekonomi selalu dilihat secara makro tanpa melihat hal-hal yang kecil.

Tak kasat mata

Bagi Astati, pembangunan dan pertumbuhan selalu difokuskan pada yang kasat mata, seperti gedung, jalan, pun jembatan. Sementara itu, pemenuhan gizi yang hasilnya tidak instan justru dinomorduakan. "Membangun jalan dan sekolah itu terlihat barangnya, tetapi memperbaiki gizi hasilnya lama. Jalan dan sekolah ada tetapi anak-anak kita sakit semua, apa gunanya," ujarnya.

Ini juga yang membuat anggaran gizi di pemerintah daerah cenderung minim. Astati mencontohkan Kabupaten Tana Toraja yang mengalokasikan Rp 5 juta untuk perbaikan gizi selama setahun. Anggaran itu hanya mampu menutupi kebutuhan administrasi saja.

Adapun anggaran gizi di Sulsel pada tahun 2011, menurut Astati, Rp 350 juta. Bandingkan dengan anggaran gizi Kota Makassar tahun 2011 yang mencapai Rp 1,2 miliar. Kepala Seksi Gizi Dinas Kesehatan Makassar Andi Bau Ratna mengatakan, Makassar memang tengah berupaya keras untuk menekan tingkat prevalensi gizi buruk yang saat ini berada di angka 3,07 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com