Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesinambungan Obat AIDS

Kompas.com - 15/05/2011, 03:59 WIB

Dr Samsuridjal Djauzi

Saya didiagnosis terinfeksi HIV pada tahun 2001. Pada waktu itu, saya mengalami diare lama disertai demam yang juga lama, lebih dari sebulan. Berat badan saya menurun 12 kg dari semula 62 kg dan kemudian hanya menjadi 50 kg. Saya berobat ke beberapa rumah sakit dan didiagnosis bermacam-macam, mulai dari tuberkulosis, demam tifoid, bahkan pernah diduga penyakit lupus. Padahal saya seorang laki-laki berumur 48 tahun. Setahu saya, penyakit lupus umumnya menyerang perempuan. Setelah berpindah-pindah tempat berobat, dokter yang terakhir memeriksa HIV dan hasilnya positif.

Pada waktu itu penyakit oportunistik saya berhasil diatasi meski dengan susah payah. Ternyata memang saya juga menderita tuberkulosis usus yang memerlukan pengobatan selama 9 bulan. Saya mendapat obat ARV generik dari India dan pada tahun 2002 diganti obat ARV generik buatan Thailand. Saya harus membayar untuk obat ARV generik buatan India dan Thailand ini meski tak terlalu mahal. Barulah pada tahun 2004 pemerintah memberi subsidi penuh obat ARV, saya mendapat ARV gratis. Obat tersebut buatan Kimia Farma namanya Duviral dan Neviral. Sampai sekarang saya masih menggunakan obat tersebut secara teratur.

Meski banyak teman yang menginformasikan bahwa obat ARV mudah resistensi, sampai sekarang keadaan saya baik dan CD4 saya melebihi 500. Menurut dokter saya, obat yang saya minum, Duviral dan Neviral, masih berfungsi baik. Sebenarnya cukup banyak teman saya seangkatan yang masih dalam pengobatan Duviral dan Neviral belum perlu diganti dengan obat lini 2 karena belum resistensi.

Pertanyaan saya, sampai berapa lama pemerintah akan membantu kami yang amat memerlukan ARV. Pada akhir tahun 2010 kami gelisah karena adanya berita-berita yang menyatakan bahwa bantuan obat ARV akan dihentikan. Setahu saya obat ARV merupakan bantuan Global Fund, sampai kapan Global Fund akan membantu Indonesia. Apakah jika bantuan tersebut dihentikan, maka kami harus membeli obat ARV sendiri?

Apakah pemerintah akan terus menyediakan obat ARV dalam bentuk program sekarang ini? Apakah juga akan disediakan obat ARV di apotek bagi yang mampu membeli sehingga bantuan hanya bagi mereka yang membutuhkan. Bagaimana dengan pengadaan obat ARV di negara lain, misalnya Thailand. Setahu saya, ODHA yang membutuhkan obat ini jauh lebih banyak daripada ODHA di Indonesia. Terima kasih atas jawaban dokter, mudah-mudahan pemerintah tetap berkomitmen membantu kami para ODHA di Indonesia.
(M di J)

Jawaban

Memang banyak yang menyangka bahwa obat AIDS yang dikenal sebagai ARV dapat disediakan secara gratis berkat bantuan donor luar. Padahal setiap tahun, sejak tahun 2004, Pemerintah Indonesia menyediakan dana melalui anggaran belanja pemerintah untuk penyediaan obat ARV dan obat infeksi oportunistik. Tahun ini pemerintah menyediakan anggaran lebih seratus miliar rupiah untuk obat ARV dan obat infeksi oportunistik. Obat ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan obat ARV untuk 30.000 orang.

Jumlah ODHA yang memerlukan ARV di negeri kita semakin meningkat karena jumlah layanan tes HIV semakin banyak dan pedoman WHO yang baru (2010) menganjurkan untuk memulai ARV pada keadaan penyakit yang lebih dini (CD4 <350). Kita bersyukur karena sudah dapat memproduksi obat ARV di dalam negeri. Empat macam obat ARV sudah diproduksi oleh PT Kimia Farma dan satu lagi, Efavirenz, dalam proses registrasi.

Global Fund dan donor luar negeri cukup banyak membantu kita. Namun, bantuan tersebut lebih diutamakan pada upaya penyuluhan dan pencegahan. Global Fund juga membantu pengadaan obat ARV lini 2, namun penggunaan obat ARV lini 2 di negeri kita masih sedikit (kurang dari 5 persen). Selain itu, Global Fund juga membantu jika penyediaan obat ARV lini 1 kurang. Jadi, untuk pengadaan obat ARV lini 1, yang digunakan lebih dari 95 persen ODHA, masih dibiayai oleh pemerintah.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com