Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebersamaan dalam Sepanci Bubur Banjar

Kompas.com - 03/08/2011, 03:23 WIB

Harum rempah menguar di halaman belakang Masjid Darussalam di Kampung Jayengan Tengah, Kelurahan Jayengan, Kecamatan Serengan, Kota Solo, Senin (1/8). Telah menjadi kebiasaan sejak 81 tahun lalu, setiap acara buka bersama di masjid ini diisi dengan makan bubur banjar bersama-sama.

Dinamakan bubur banjar karena resep masakan ini berasal dari orang-orang suku Banjar yang sejak beberapa generasi lalu menetap di Kampung Jayengan.

”Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1930. Awalnya saat datuk-datuk (leluhur) kami asal Martapura, Kalimantan, datang berdagang intan berlian ke sini. Agar membaur dengan warga setempat, mereka membuat bubur untuk dimakan bersama,” kata Ketua Panitia Takjilan Masjid Darussalam Sofyan Suri.

Untuk membuat bubur banjar khusus berbuka bersama selama Ramadhan, setiap hari dibutuhkan sekitar 35 kilogram beras. Sebanyak 150 porsi dimakan bersama di masjid selepas azan magrib tanda waktu berbuka. Sisanya, lebih kurang 500 porsi, dibagikan kepada orang-orang yang mulai berdatangan selepas azan asar, kebanyakan warga sekitar. Ada yang membawa rantang, mangkok, atau termos nasi. Kadang rantang atau mangkok sudah diletakkan di masjid sejak siang hari saat bubur masih dimasak agar tidak perlu repot antre. Tidak sedikit orang datang dari daerah lain, seperti Klaten atau Sukoharjo, hanya untuk mencicipi bubur banjar ini.

”Dari kelompok ekonomi bawah sampai atas datang ke sini. Ada yang memang membutuhkan atau sekadar penasaran ingin mencicipi seperti apa rasa bubur samin banjar yang sering disebut bubur banjar,” tutur Sofyan.

Dua jenis

Ada dua macam bubur banjar yang dibuat, yakni yang dimasak dengan bumbu sop dan bumbu kuning. Berbagai rempah ditambahkan, seperti lada, adas, kapulaga, jintan, ketumbar, kemiri, serai, jahe, laos, dan pala. Ini masih ditambah bawang putih, bawang bombai, daging sapi, wortel, daun bawang, dan susu segar untuk bubur bumbu sop serta bawang merah, santan, kunyit, dan daging sapi untuk bubur bumbu kuning.

”Tiga hari kami masak bubur dengan bumbu sop, tiga hari berikutnya dengan bumbu kuning. Begitu seterusnya,” kata Munasaroh (46), warga yang membuat bumbu.

Munasaroh meracik bumbu bersama sang ibu, Yamani (63). Yamani, yang asal Jawa, menikah dengan ayah Munasaroh yang keturunan Banjar. ”Di sini, orang Banjar, orang Jawa, atau campuran keduanya saling tolong-menolong masak bersama,” ujar Munasaroh.

Gotong royong

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com