Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Istri Mengalami Gangguan Jiwa?

Kompas.com - 29/04/2012, 02:32 WIB

Harapan versus kenyataan

Banyak orang memiliki harapan bahwa dengan menikah dan berjalannya waktu, berbagai kondisi dan sifat buruk pasangannya akan dapat berubah. Hal semacam ini terbukti lebih banyak menimbulkan kekecewaan karena jarang tercapai. Apalagi pada kasus di atas, baik HK maupun keluarga sudah berasumsi SU punya gangguan jiwa.

Berbagai persepsi negatif dan kekhawatiran bahwa SU tak mampu mengasuh anak secara baik membuat HK dan keluarganya sulit berpikir jernih dalam menghadapi berbagai kenyataan yang terjadi. Bila dicermati secara netral, mungkin saja ada pula perilaku HK yang memicu kemarahan pada diri SU, misalnya HK dipersepsi terlalu ”dekat” dengan ibu. Padahal, harapan SU adalah agar HK lebih mandiri dan memperhatikan SU.

Gangguan jiwa?

Sebenarnya, melalui cerita lisan/tulisan, tak mudah untuk mendiagnosis apakah SU mengalami gangguan jiwa atau tidak. Diperlukan pemeriksaan lebih intensif dan langsung untuk memastikannya. Dan, ada hal lain yang lebih mendasar untuk dipikirkan, yaitu apakah setelah ada diagnosis, HK akan menerima kondisi istri apa adanya atau tidak. Ada pasangan lain yang tetap berusaha untuk menoleransi dan memaklumi apa pun kondisi buruk yang terjadi pada pasangannya, meski pasti dirasakan berat. Apalagi, bila sudah menyangkut harga diri karena SU menunjukkan sikap tidak menghargai mertua ataupun keluarga besar.

Menurut saya, SU memiliki ciri kepribadian yang labil, ia sering tak dapat mengontrol emosinya, mudah meledak, dan berubah pendirian serta pencemburu. Tentu hal tersebut ada penyebabnya. Dengan kondisinya, sebenarnya SU membutuhkan pendamping yang tidak saja sabar, tetapi juga tegas dan tegar, mampu mengayomi dan berani memutuskan.

Apa pun kondisinya, upaya penanganan psikologis dan (bila diperlukan) medis tetap dapat dilakukan. Masalahnya, bersediakah SU bersama dengan HK menjalani terapi yang tentunya juga memakan waktu yang tidak sebentar mengingat ciri kepribadian SU juga sudah lama melekat pada dirinya. Kemudian, perlu diputuskan seberapa jauh motivasi HK untuk tetap mempertahankan perkawinan demi kesejahteraan anak mereka yang masih bayi?

Perceraian dan hak asuh anak

Saya berharap, sebelum keputusan berpisah atau rujuk ditetapkan, HK dapat lebih bersikap dewasa dengan mencoba berkunjung ke rumah mertua dengan niat bersilaturahim dan menemui anak, apa pun risikonya. Sikap HK yang sabar, tetapi tak gentar akan segala ancaman mungkin diperlukan untuk meredakan emosi SU.

Apabila HK tetap memilih untuk bercerai, apakah sudah memikirkan konsekuensi negatif bagi semua pihak, khususnya pada anak? Hak asuh anak memang sering menjadi permasalahan akibat terjadinya perceraian. Benar bahwa selama anak masih menyusui ibu, tak mungkin anak dipisahkan dari ibunya. Ada batasan usia hak asuh anak masih berada di tangan seorang ibu. Perlu diupayakan juga jangan sampai terjadi perebutan anak oleh kedua pihak.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak , meski kedua orangtua memiliki hak yang setara dan sama untuk mengasuh anak, majelis hakim dapat mencabut hak asuh anak ini apabila salah seorang atau kedua orangtuanya ternyata berkelakuan buruk dan melalaikan kewajiban terhadap anaknya.

Demikian penjelasan saya. Semoga membantu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com