Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Depresi dan Mental Kesegeraan

Kompas.com - 10/10/2012, 02:26 WIB

Mental kesegeraan

Mental kesegeraan (immediacy) dan pola pikir yang terdistorsi, menjadi semacam gaya hidup serta cara pandang yang justru kian diterima, seakan menciptakan norma baru dan diserap menjadi semacam kebenaran semu. Tak heran, kesenjangan yang kian meruncing dalam masyarakat akan cepat menimbulkan perilaku mal-adaptif, lantas menciptakan ketidakseimbangan dalam banyak sektor kehidupan. Kita kehilangan sistem masyarakat yang tenang dan semakin jauh dari budaya introspeksi sebagai landasan untuk maju menghadapi tantangan.

Mental kesegeraan bisa kita lihat saat orang ingin serba cepat, cepat kaya, cepat berkuasa, cepat sembuh, cepat populer, dan sebagainya, sering bukan lewat cara yang berorientasi pada proses dan daya juang. Krisis multidimensi yang memuncak tahun 1998 di Indonesia merupakan tonggak sejarah penting yang seharusnya diantisipasi, karena jangka panjangnya akan meluluhlantakkan kualitas hidup masyarakat, termasuk di dalamnya kesehatan mental.

Saat ini kita sudah mulai menuai dampak reformasi itu yang ternyata memang pahit. Apalagi, pemangku kekuasaan sebagai regulator perikehidupan masyarakat mengecewakan, mengempaskan harapan yang kadung dipasang tinggi. Di situlah kumpulan individu bernama masyarakat kehilangan harapan yang amat berharga bahwa kehidupan layak diteruskan. Depresi marak karena kita kehilangan ”sesuatu”: harapan dan kepastian hidup.

Individu atau masyarakat perlu mencapai aktualisasi, seperti formulasi Abraham Maslow, sehingga kelak mampu memenuhi dasar-dasar kebutuhan sendiri dan umat manusia. Namun, kualitas hidup yang semestinya menciptakan masyarakat yang berorientasi pada pencapaian nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban ini kian merosot.

Patut disimak pendapat Karen Horney tentang depresi bahwa kita tidak akan mengerti masalah depresi tanpa kita memahami seberapa besar harapan, nilai kehidupan, dan standar yang dipatok oleh individu dan masyarakat. Harapan yang begitu tinggi agar terjadi perubahan yang lebih baik—saat retorika reformasi diteriakkan—terempas oleh kenyataan, menyisakan ketidakberdayaan yang membuncah (overwhelming hopelessness).

Maka, kita perlu menurunkan ekspektasi agar mendekati kenyataan, betapapun pahitnya, sambil merestorasi kenyataan yang sedang tidak legit itu. Belajar merasa bahagia dan mempunyai harapan yang proporsional akan mengurangi angka perilaku mal-adaptif sebagai dampak dari depresi.

Mari kita mengembalikan nilai-nilai baik dari kearifan lokal serta menguatkan akar sosial budaya yang bisa meningkatkan kohesi sosial dan resiliensi mental di masyarakat sebagai sumber kebahagiaan otentik yang boleh jadi kita abaikan selama ini.

Nalini Muhdi Psikiater di RSU Dr Sutomo FK Unair; Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com