Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Depresi dan Mental Kesegeraan

Kompas.com - 10/10/2012, 02:26 WIB

Nalini Muhdi

Peristiwa bergulir cepat di negeri ini. Belum selesai satu masalah sudah muncul masalah lain. Maka, berbagai masalah psikososial pun merebak: kejadian bunuh diri yang erat dengan depresi, kekerasan.

Ada begitu banyak hal yang menandakan ketidakberesan pada mental bangsa ini. Kriminalitas yang kian sadis, tawuran remaja, terorisme, ambang toleransi rendah terhadap perbedaan, memudarnya rasa malu, perilaku serakah lewat korupsi, dan seterusnya.

Dunia memang tengah memprihatinkan depresi yang menjadi masalah global. Beban kesakitan dunia bakal menjadi ledakan hebat pada 2020. Saat ini saja, lebih dari 350 juta penduduk dunia menderita depresi dalam berbagai gradasi. Angka tersebut selaras dengan meningkatnya kejadian bunuh diri serta kekerasan dan merosotnya kualitas hidup umat manusia.

Lebih memprihatinkan, ternyata gagasan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goal/MDG) tidak konkret menyentuh masalah kesehatan mental. MDG tidak secara eksplisit menganggap kesehatan mental sebagai hal yang perlu segera diatasi. Bisa jadi karena kesehatan mental memang agak sulit diukur.

Depresi

Saat ini perubahan yang cepat dalam berbagai bidang, kemunduran sosial-ekonomi dari efek globalisasi, kompetisi superketat, dan ketidakpastian masa depan, membuat sebagian masyarakat tidak mampu menghayati kebahagiaan lagi. Semua ini menjadi faktor pencetus depresi.

Salah satu dampak depresi yang berat adalah bunuh diri. Angka bunuh diri agak sulit diukur melalui kejadian yang tercatat di pusat layanan kesehatan semata karena kematian bunuh diri justru sering tercatat dengan penyebab lain, misalnya kecelakaan lalu lintas atau tidak dilaporkan keluarga. Kesadaran terhadap depresi dan akibatnya memang tidak selayaknya mengandalkan angka epidemiologik.

Apakah maraknya berbagai masalah kesehatan jiwa, termasuk depresi, selalu berkaitan dengan kemajuan tingkat kehidupan, termasuk kondisi ekonomi? Ada benarnya, tetapi ternyata tidak selalu begitu, bergantung pada tingkat resiliensi atau kekenyalan individu dan sistem di masyarakat tersebut.

Berbagai perubahan kehidupan yang cepat, ketidakpastian masa depan, termasuk melubernya pengangguran, dituding sebagai akar dari ketidakseimbangan dan kondisi ini amat relevan saat ini. Banyak anggota masyarakat kehilangan pijakan akar budaya dan nilai-nilai kehidupan sosial yang dulunya bisa menjadi benteng pertahanan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com