Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/02/2013, 07:55 WIB

KOMPAS.com - Umumnya manusia ingin bahagia dan mengejarnya dengan banyak cara. Tetapi tak semua orang tahu bagaimana berbahagia dengan benar. Misal, masih ada orang yang beranggapan bahwa bahagia itu identik dengan kekayaan dan popularitas. Lalu dia kerja keras dsb, lalu kaya. Namun akhirnya tetap tidak menemukan kebahagiaan.

Itu keliru. Lihat saja tak sedikit konglomerat dan artis papan atas mati bunuh diri. Mereka hanya kaya nama dan harta tapi tetap miskin bahagia. Bahagia adalah emosi positif, yang kita perlukan sepanjang kehidupan, terutama di saat sulit dan situasi yang buruk. Perasaan bahagia dibentuk sejak kecil. Ditumbuhkan oleh kasih sayang orang tua, relasi yang baik dengan sesama dan iman yang sehat.

Emosi bahagia tumbuh karena melewati pelbagai pengalaman baik dan buruk, situasi positif- negatif secara SEIMBANG. Ya, bahagia adalah menikmati kesenangan dan penderitaan secara seimbang. Itu sebabnya mereka yang TERLALU dimanja saat kecil bisa bermasalah secara emosi di masa dewasa. Demikian juga anak-anak yang lebih banyak menderita karena perlakuan kasar Ayah atau ibunya.

Hidup bagaikan roda. Kadang di atas kadang di bawah. Begitulah ada waktunya kita senang, ada waktunya sedih. Ada waktu untuk untung, kadang malang. Ada waktu untuk mendapat, kadang kehilangan. Ya, untuk segala sesuatu ada waktunya, kata Salomo. Tak selamanya orang menyukai kita, terkadang kita dibenci. Hari ini dipuji, eh besok orang yang sama bisa mencaci  kita. Lebih menyakitkan lagi saat orang terdekat mengkhianati kita.

Tubuh kita tak selalu sehat, sewaktu-waktu bisa sakit. Adapula teman yang menderita hingga bertahun-tahun lamanya seperti Ayah penulis yang pernah menderita sakit nyaris 2 tahun. Begitulah. Hidup bagaikan cuaca, yang tak selalu panas terkadang ada musim hujan. Ringkasnya, bahagia adalah belajar menikmati kesenangan dan penderitaan secara seimbang. Orang bahagia itu di masa senang tidak lupa diri, dan di kondisi yang buruk tidak bersungut atau mengutuk.

Menabung emosi bahagia

Jadi bagaimana caranya menabung emosi bahagia? Tetap tegar di masa sukar? Sebelum masa sulit, pengalaman pahit, atau sakit ini datang persiapkanlah diri. Seperti Nabi Yusuf yang bijak menyiapkan tujuh tahun masa kelaparan dengan menabung gandum di masa kelimpahan, kitapun perlu menabung emosi bahagia.

Seperti pepatah berkata, "sedia payung sebelum hujan". Atau anak-anak sejak kecil butuh imunisasi agar kebal saat penyakit menyerang. Maka kita pun perlu menabung emosi bahagia. Caranya? Ingat dan catatlah semua pengalaman positif: pengorbanan orang tua, kasih sayang guru, dan kebaikan sahabat. Indahnya diterima dan dihargai orang yang mencintai kita. Serta pengalaman lainnya yang membuat hati kita senang dan emosi kita positif. Menghitung setiap berkat Tuhan. Selain mencatat emosi bahagia kita di sebuah buku harian atau komputer, "catat" juga di loh hati Anda dengan senantiasa bersyukur pada sang Ilahi.

Setelah ditulis, bagikanlah kebahagiaan itu. Dengan cara menceritakannya sesering mungkin, selagi ada kesempatan. Inilah cara terbaik menabung emosi bahagia. Moto Pelikan Indonesia dimana saya bekerja adalah: "bagikanlah penderitaanmu maka penderitaanmu akan berkurang, bagikanlah kebahagiaanmu maka kebahagiaanmu akan bertambah". Bila suatu ketika datang masa yang sulit, atau sakit menyerang, kita bisa menggunakan memori tadi untuk menguatkan diri. Kita tetap kuat, tidak mengeluh atau bersungut.

Saat kita sedih, kita mengambil "tabungan" emosi senang. Mengingat bahwa kita pernah senang dan seterusnya. Mengingat banyak orang yang (sudah) menyenangkan kita. Di saat kita malang, ditipu atau dirugikan orang, kita ambil "tabungan" keuntungan. Ya, kita pernah beruntung mendapat pemberian dan kebaikan orang yang sayang dengan kita. Bisnis kita pernah untung. Sesekali gagal atau rugi, wajarlah.

Bandul hidup

Saya menganalogikan irama hidup kita di atas bagaikan "main ayunan" atau bandul. Siapa yang cakap mengayun ayunannya, akan bisa bergembira meski di saat susah. Masalah sebagian klien kami di ruang konseling ternyata bukan pada besar atau beratnya masalah. Tapi karena mereka tidak siap menghadapi masalah dalam hidup. Tidak ready menghadapi kemungkinan terburuk. Misalnya, pasangan yang akan menikah lebih banyak membayangkan indahnya pernikahan, tapi tak pernah belajar keterampilan menghadapi pelbagai masalah dalam perkawinan. Apakah itu penyakit, kekurangan ekonomi atau masalah anak dengan kebutuhan khusus.

Umumnya orangtua bahagia punya anak, tapi mereka tidak mempersiapkan skill dan mental jika anak mereka menghadapi masalah. Terkena adiksi narkoba misalnya. Sebagian orang malah sudah takut menghadapi masalah. Mereka menganggap kesulitan itu momok yang harus dihindari atau dijauhi. Padahal sikap terbaik, masalah itu dijalani atau dihadapi. Bukan dihindari atau lari dari masalah. Dalam konseling kami membantu klien memahami fakta kehidupan adalah berjuang. Hidup adalah perjuangan.

Kita harus berhenti dari sikap dan perilaku yang menyalahkan atau mengkambinghitamkan orang lain. Stop dari penyesalan diri atau menyalahkan diri sendiri. Lebih baik energi emosi dan pikiran dikerahkan untuk menghadapi masalah. Dengan pikiran jernih, kita mencari solusi bersama pasangan dan orang yang dipercaya. Semua orang punya masalah. Kesulitan tidak menunjukkan kita lemah. Tidak. Kesulitan yang DIA izinkan  tidak bermaksud melemahkan, sebaliknya, mendewasakan. Membuat hidup seimbang dan lebih indah berwarna.

Semua tantangan hidup adalah pencobaan yang biasa atau lazim, tidak melebihi kekuatan kita. Tuhan tahu apa yang terbaik dan apa  yang sanggup kita pikul. Kadang kita saja yang cenderung membesar-besarkan masalah; atau suka menyimpan atau lari daripada menghadapinya. Respon keliru inilah yang menjadikan beban hidup kita terasa berat. Kita juga perlu mengembangkan sikap optimis (beriman) dan berpengharapan, bahwa badai masalah pasti berlalu. Setiap masalah ada "wisuda"-nya. Bahkan bila Anda merasa "nasi sudah menjadi bubur", percayalah buburpun bisa dijadikan bubur ayam yang lezat. Bagi orang percaya, tragedi bisa menjadi "komedi" dan frustasi menjadi prestasi.  Sikap terbaik seorang pemenang adalah selalu mengandalkan Tuhan.

Kehidupan seperti main ayunan. Ada sedih ada senang, kadang untun terkadang malang. Hidup seperti bandul yang sebentar ke kiri lalu bergerak ke kanan.  Ayun saja, ikuti iramanya. Jangan fokus pada kesedihan. Ingat, kita pernah senang. Jangan fokus pada kelemahan pasangan, dia pun punya kelebihan. Ayun terus bandulmu, ya ayun saja agar berjalan seimbang. Anggap saja hidup ini seperti sebuah game yang asyik dan menarik, serta "bersenanglah". Belajar bersukacita dalam segala hal, dan ingat kita tidak sendiri.

Membawa Damai

Tabungan emosi bahagia bisa kita tingkatkan dengan mengembangkan jiwa pemaaf, alias cinta damai. Perhatikan Nasihat kuno ini, "Berbahagialah kamu yang membawa damai" masih relevan bagi kita. Prinsip hidup ini memberitahu kita cara berbahagia. Kita diminta mendistribusikan damai pada sesama. Terutama  yang sedang tidak memiliki damai. Seorang pendamai memiliki jiwa pemaaf. Mereka cakap menjadi mediator bagi sesamanya yang sedang konflik. Tentu orang yang sedang tidak berdamai dengan dirinya sendiri tidak mungkin mampu mendistribusikan damai ini.

Sebaliknya ia berpotensi membuat orang lain merasa tidak damai alias kecewa. Mereka yang defisit rasa damai dan kasih, berpotensi menjadi pribadi yang rentan konflik. Meski TAHU berdamai itu baik dan MAU berdamai dengan sesama tapi dia tak akan MAMPU melakukannya. Hanya orang yang berdamai dengan Tuhan dan dirinya sendiri dapat membawa damai pada sesama. Buah membawa damai adalah kebahagiaan. Bahagia artinya menikmati kesenangan dan penderitaan secara seimbang. Kebahagiaan membuat seseorang stabil, punya daya tahan dan daya juang.  Modal yang baik membangun karir dan keluarga.

Orang yang bahagia rela membayar harga demi kebahagiaan musuhnya. Sebaliknya, mereka yang tidak bahagia senang melihat orang lain (musuhnya) gagal dan menderita. Miskin empati. Orang yang tidak bahagia enggan melihat orang yang pernah melukainya bahagia. Ia (masih) menyimpan rasa iri dan marah. Sementara itu ada juga orang yang berpura-pura damai, bebas konflik. Mereka rela hidup MUNAFIK agar diterima sesamanya. Supaya dilihat  sebagai pemaaf.

Rasa damai semu dan para pendamai palsu ini banyak disekitar kita. Orang bijak dapat membedakannya. Berbahagialah kamu yang membawa damai. Ya, kebahagiaan dimulai dengan cinta damai. Bahagia dimulai dengan memberi maaf. Karena mengampuni itu PINTU perdamaian dan kebahagiaan. Tapi sayangnya, pintu itu kecil dan sempit tidak bisa dimasuki tanpa membungkuk alias rendah hati. Terimakasih sudah membaca, komen dan vote.

Salam konseling
@JuliantoPelikan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau