Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/03/2013, 09:47 WIB

Saat sistem pertahanan diri terbentuk, hormon kortisol sebagai penanda stres diproduksi. Energi dalam diri pun terpusat hingga tubuh siap melakukan tindakan fisik, baik itu memukul maupun berlari.

Ketika energi terpusat, seseorang bisa melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukan dalam kondisi normal, seperti melompati tembok tinggi hingga membunuh orang dengan sadis.

”Respons bertarung ini merupakan respons binatang yang masih ada dalam diri manusia ketika berevolusi,” katanya.

Namun, cara bertarung tidak selalu mewujud dalam tindakan kasar. Perilaku kekerasan, seperti memukul, menendang, hingga membunuh biasanya ditunjukkan oleh mereka yang logikanya tidak terbentuk alias tidak terdidik baik. Jika logika berjalan, yang muncul adalah kata-kata makian hingga pengusiran.

Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat, mengatakan, ketika cinta begitu posesif hingga tak mampu membedakan antara diri sendiri dan orang lain, maka rasa kehilangan yang muncul akan menjadi akut.

Ketakutan akut inilah yang mendorong muncul kekejian karena tindakan yang diambil hanya didasarkan atas pilihan menghilangkan atau kehilangan.

Kekejian tindakan yang dilakukan seseorang sangat bergantung pada kematangan kontrol diri. Seseorang yang emosinya matang jika marah tidak akan bersikap seperti anak-anak, seperti membanting benda-benda di sekitarnya. Mental pelaku mutilasi yang umumnya belum berkembang membuat mereka mudah membunuh, bahkan memotong tubuh orang yang pernah dicintai.

”Berubahnya tatanan kehidupan membuat banyak anak terlambat mengalami kematangan psikologis. Pada saat bersamaan, kematangan seksual justru terjadi lebih cepat,” katanya.

Psikiater dan Ketua Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa, Pandu Setiawan, Senin (11/3), mengatakan, pola pertahanan diri tiap orang sangat bergantung pada pola asuh dan tumbuh kembang sejak kecil. Selain faktor biologis dan psikologis, kematangan jiwa juga ditentukan oleh kondisi sosial.

Perilaku pelaku mutilasi yang menyimpang dari norma sekitarnya umumnya sudah terdeteksi. Namun, masyarakat sekitarnya umumnya tidak peduli karena menganggap bukan urusan mereka.

Selain itu, pelaku bisa melakukan tindakannya karena ada model. Inilah yang membuat tayangan kekerasan perlu dibatasi agar tak justru mendorong seseorang berbuat keji.

Mereka yang menunjukkan respons bukan dengan kekerasan, kata Taufiq, bukan berarti lemah. Orang itu justru mampu memperhitungkan untung rugi, benar salah, konsekuensi hukum, hingga penghormatan atas moral dan nilai.

”Sayangnya, anak Indonesia tidak dididik membuat keputusan berdasar logika. Keputusan yang diambil lebih banyak didasarkan atas naluri,” ujarnya. Inilah yang membuat kasus-kasus mutilasi di Indonesia lebih mudah terungkap dibanding kasus serupa di luar negeri.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com