Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/11/2013, 17:09 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com — Selain menjadi bagian dari warisan budaya, obat tradisional merupakan alternatif pencegahan penyakit yang dipercaya masyarakat Indonesia. Ramuan berbagai herba ini telah diturunkan antargenerasi dan diyakini bisa memperkuat daya imun tubuh.

Hal ini didukung hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 yang menyatakan, 59,1 persen masyarakat Indonesia masih mengonsumsi jamu. Dari angka tersebut, sekitar 90 persen mengakui manfaat kesehatan yang diberikan jamu.

Sayangnya, kondisi ini dimanfaatkan produsen yang ingin mengeruk keuntungan. Obat tradisional yang tersedia diberi campuran obat kimia, atau tidak memiliki izin edar. Akibatnya, obat tradisional yang tersedia tidak lagi memberi manfaat seperti ramuan aslinya.

Menghadapi kondisi ini, konsumen harus pandai membentengi diri, terutama bila membeli obat tradisional di pedagang eceran yang relatif mudah dijangkau.

"Ada 3 poin utama yang harus diperhatikan, yaitu jenis obat, label, dan bentuk sediaan. Dengan mengetahui ketiganya, masyarakat lebih mudah membentengi dirinya," kata Kasundit Bina Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan RI Dra Nadira Rahim, Apt, M Kes pada Pendampingan Terhadap Pelaku Usaha Jamu Racikan (UJR) dan Usaha Jamu Gendong (UJG) di Jakarta pada Kamis (7/11/2013).

Berikut tiga poin yang dimaksud.

1. Jenis obat tradisional

Obat tradisional hanya terbagi atas jamu, obat herbal terstandar (OHT), dan fitofarmaka. Tiap golongan memiliki simbol yang berbeda.

Jamu adalah obat tradisional yang diwariskan antargenerasi berdasarkan pengalaman nenek moyang. Jumlah jamu paling banyak beredar di masyarakat.

OHT, kata Nadira, hampir sama dengan jamu, tetapi sudah teruji secara klinis. Sampai saat ini, telah terdapat 38 OHT, yang menggunakan bahan baku terstandar. Sementara fitofarmaka lebih tinggi dari OHT dengan bahan aktif yang sudah diketahui. Sejauh ini, hanya terdapat enam fitofarmaka di Indonesia, salah satunya jahe dengan kandungan zat gingiberin.

2. Label obat

"Yang utama jelas ada nomor izin edar (NIE) karena berarti produk tersebut telah mendapat izin dari BPOM RI," kata Nadira. NIE terdiri atas 3 kode, yaitu TR untuk produksi lokal, TI untuk produksi impor, dan TL untuk produksi lisensi.

Label juga harus memuat nama produk, logo (jamu, OHT, atau fitofarmaka), tanggal kedaluwarsa, komposisi bahan, aturan pakai, isi tiap wadah, kontraindikasi, khasiat, nomor kode produksi, dan nama perusahaan.

Nadira juga mengatakan, label harus dalam keadaan baik dan tidak memberi info menyesatkan. Label yang baik memungkinkan kualitas obat tetap terjaga. Obat tradisional juga tidak boleh menggunakan kata berlebihan misal manjur, cespleng, atau tokcer.

3. Bentuk sediaan terbatas

"Obat tradisional tidak tersedia dalam bentuk tetes mata, infus, atau yang dimasukkan dalam dubur. Bila ada obat tradisional dalam bentuk tersebut, sebaiknya jangan dikonsumsi," kata Nadira.

Obat tradisional tersedia dalam bentuk rajangan, serbuk, tablet, kapsul, cairan obat luar, dan cairan obat dalam. Bentuk ini tentu harus diperhatikan terlebih dulu kondisi fisiknya untuk memastikan kualitas obat tradisional.

Untuk rajangan, sebaiknya pastikan tidak berjamur sebelum dikonsumsi. Rajangan biasa digunakan untuk obat tradisional dalam bentuk racikan. Sediaan serbuk harus dalam keadaan tidak kering dan menggumpal sebelum diseduh, sedangkan tablet dan kapsul sebaiknya tidak lengket, pecah, dan sesuai warna aslinya.

Untuk cairan obat luar harus dipastikan tidak berbau tengik dan berubah warna. Contoh obat cairan luar adalah minyak kayu putih dan minyak telon. Sementara untuk obat cairan dalam tidak boleh beraroma tengik sebelum dikonsumsi. Contoh obat cairan dalam adalah sari kunyit asam atau beras kencur yang kerap dikonsumsi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau