Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/01/2015, 14:20 WIB

Oleh: Wisnu Nugroho

KOMPAS.com - Terpanggil untuk kenal lebih dekat dengan negerinya, Nahla Jovial (22) meninggalkan kenyamanan kota. Setelah lulus Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, Juli 2013, dan mendapat beasiswa dari sejumlah lembaga, Nahla justru memilih pergi ke daerah pelosok bernama Lindu di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Padahal, sebelum ikut program Pencerah Nusantara, ia tak tahu ada daerah pelosok itu. Namun, ketidaktahuan itu mengantarnya pada petualangan, kejutan, dan hal-hal jauh dari bayangannya. Untuk mencapai daerah pegunungan dengan danau itu, ia harus menempuh perjalanan dengan ojek lewat jalan setapak di tepi tebing dan jurang selama 1,5 jam.

Tak ada listrik dan sinyal telepon di Lindu. Jika hendak berkomunikasi dengan dunia luar, warga harus ke kota. Untuk membuat laporan kegiatan, Nahla dan anggota tim yang terdiri atas lima tenaga kesehatan ke kota secara berkala. Dalam tim ada dokter umum, perawat, pemerhati kesehatan, dan bidan.

Bagi Pencerah Nusantara, kepergian Nahla ke Lindu adalah keberangkatan ketiga. Dua rombongan sebelumnya di tujuh lokasi terpencil telah kembali dari Lindu, Kelay (Kalimantan Barat), Ende (Nusa Tenggara Timur), Sikakap (Sumatera Barat), Pakis Jaya (Jawa Barat), Ogotua (Sulawesi Tengah), dan Tosari (Jawa Timur).

Di tujuh daerah terpencil itu, tim dengan beragam latar belakang budaya dan ilmu bekerja sama selama setahun. Mereka menangani masalah nyata kesehatan masyarakat di lokasi itu.

”Yang dilakukan anak-anak muda ini bukan hal baru. Karena dikerjakan dengan serius mulai dari persiapan, pembentukan tim di satu wilayah, hingga evaluasi berkala, kegiatan ini jadi terobosan dari hal-hal rutin,” kata Direktur Jenderal Bina Usaha Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher di Jakarta, Desember lalu.

Hal itu diakui Akmal setelah tiga hari berada di Tosari. Di kecamatan dengan pemandangan Bromo itu, Akmal bertemu tim Pencerah Nusantara, yakni Lydia (bidan), Rona (perawat), Septirina (pemerhati kesehatan), Siti (pemerhati kesehatan), dan Udin (dokter umum).

Dulu perlu setahun untuk identifikasi masalah, membuat peta, dan menentukan prioritas. Kini, dengan tim yang disiapkan baik, pekerjaan satu tahun bisa digarap tiga bulan. Tugas di puskesmas dikerjakan bersamaan dengan penyuluhan. ”Masalah yang ditangani lebih luas, terkait perilaku dan mitos,” ujarnya.

Dipersiapkan

Setelah diseleksi dan akan ditempatkan di wilayah terpencil yang layanan kesehatan primernya buruk, semua anggota tim dilatih enam minggu. Selain soal kuratif kesehatan, ada pelatihan kepemimpinan yang menempatkan mereka di situasi terjenuh.

”Simulasi ini membantu. Terbukti, dari tiga angkatan, tak ada peserta minta pulang karena homesick, misalnya,” kata Yurdhina Meilissa (27), dokter umum angkatan pertama Pencerah Nusantara yang bertugas di Ogotua.

Yurdhina terlibat intens di Pencerah Nusantara yang semula adalah program yang digagas Utusan Khusus Presiden RI untuk Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). Setelah program itu berakhir di pengujung 2014, bersama sejumlah alumni program, Pusat Inisiatif dan Strategi untuk Pembangunan Indonesia (Center for Indonesia Strategic Development Initiative/CISDI) dibentuk.

Mereka yang selesai ikut program ini setahun umumnya tak berdiam diri. Menjadi bagian tim pertama Pencerah Nusantara di Sikakap, Muhammad Riedha (28) aktif dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Lulusan Fakultas Kedokteran UI serta pernah studi di Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan Ilmu Kesehatan di Universitas Melbourne, Riedha menghidupi kegelisahannya dengan beragam aktivitas. ”Pembelajaran paling berguna dalam hidup adalah terjun langsung di lapangan, menghadapi segala problematik,” kata Riedha, Abang Jakarta Barat 2005 ini.

Di Pencerah Nusantara, Nahla, Yurdhina, dan Riedha tak sendiri. Setiap angkatan terdiri dari 32-35 orang berusia 20-25 tahun yang dipilih dari 1.000 pendaftar. Mereka terdiri dari dokter umum, bidan, perawat, dan pemerhati kesehatan.

Dekatkan kesenjangan

Dari kaum muda cerdas dan gelisah melihat masalah di sekitar serta tak hanya berpangku tangan, ditemukan jalan keluar berbagai masalah. Itu menumbuhkan harapan perbaikan.

Hal itu diakui Karyo (44), Kepala Desa Tanjung Pakis, Pakis Jaya. ”Dulu warga buang air di saluran irigasi, kali, atau dolbon (buang air di kebun). Kini, kami saling bantu mewujudkan WC di rumah warga,” tuturnya.

Selain itu, Puskesmas Pakis Jaya yang semula buruk dan minim layanan pun berkembang. Layanan rawat inap di puskesmas itu akan dihidupkan. ”Ini agar tak harus ke rumah sakit daerah yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari Pakis Jaya,” kata Karyo.

Melihat dampak nyata kegiatan itu, menurut Akmal, terobosan Pencerah Nusantara akan diterapkan di daerah lain yang layanan kesehatan primernya buruk. Di Indonesia ada sekitar 9.500 puskesmas dengan kondisi baik 60 persen. Kemkes mengkaji penerapan program sejenis di 50 titik pada 2015 di Papua dan daerah perbatasan.

Pelibatan satu tim di satu daerah yang layanan kesehatannya buruk membawa hasil baik. Intervensi khusus kesehatan di daerah terpencil itu diperlukan demi mengatasi kesenjangan layanan kesehatan antardaerah.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau