Sarti (45) melongok dari pintu dapur ketika Nur mengucap salam. "Monggo, monggo, Mbak," kata Sarti sambil menyuapi cucunya.
Istri buruh bangunan ini tidak ingin kedua cucunya terkena demam berdarah. Ia langsung setuju ketika rumahnya terpilih menjadi tempat pelepasan nyamuk. Dari pelepasan pertama, keluarganya tidak ada yang panas meski sempat flu. Makin banyak digigit nyamuk? "Mboten, kok, biasa saja," jawab Sarti.
Sambil mengobrol, Heru mengambil air dan menuangkan di ember penetasan. Nur membantu menyiapkan setrip telur nyamuk, pelet, dan tutup ember. "Nyamuk menetas setelah satu minggu. Begitu pelet habis, mereka akan keluar lewat lubang-lubang kecil di ember," kata Heru.
Prosedur serupa berlangsung di semua rumah responden. Sambil memasang perangkat penetasan, Nur menanyai kondisi penghuni rumah. "Nyamuknya, kok, banyak, ya. Gatal," kata Marsidah (36).
"Repellent masih ada? Kalau habis besok kami antar, ya," kata Nur menanyakan obat oles pengusir nyamuk. Obrolan sambil berdiri di halaman itu berlanjut dengan penjelasan Nur. "Kapan digigit? Kalau malam, berarti nyamuk biasa. Nyamuk demam berdarah menggigit pagi atau sore hari. Tetapi, nyamuk Wolbachia tidak menularkan demam berdarah," tambahnya.
Awalnya tidak mudah mengajak masyarakat berperan serta dan meyakinkan pemangku kepentingan. Seperti di Desa Nogotirto, Kabupaten Sleman, yang semula 95 persen setuju. Begitu ada provokasi, 5 RT menolak. Keluhan juga banyak, mulai dari gigitan jadi lebih sakit hingga nyamuk bertambah banyak. Namun, dengan pendampingan intensif, penduduk antusias menjalani proses perubahan.
"Sekarang mereka paham bahwa masa edar nyamuk demam berdarah berbeda dengan nyamuk biasa, mengenali jenis nyamuk, sekaligus mampu membedakan panas gejala flu dengan panas gejala demam berdarah," papar Paulus Enggal Sulaksono, spesialis komunikasi dan media EDP.
Di Sleman, nyamuk pembawa Wolbachia mampu beradaptasi dan berkembang biak di alam. Persentase nyamuk ber-Wolbachia di Nogotirto 70 persen dan di Kronggahan 93 persen. Meski proses penelitian masih panjang, harapan membuncah.
Apalagi, masyarakat semakin kooperatif. "Demi kebaikan, saya ikhlas rumah saya jadi tempat pelepasan nyamuk," kata Siswanto (37), ayah satu anak usia 6 tahun di Singosaren.
Sayang, ketika rakyat berpikir kemaslahatan, elite politik justru bertikai demi kepentingan sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.