Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/11/2015, 19:00 WIB
KOMPAS.com - Testosteron merupakan hormon seks pria yang paling penting. Kekurangan atau ketidakseimbangan testosteron bisa memengaruhi perkembangan seksual, kesuburan, bahkan meningkatkan risiko penyakit kronik.

Pada masa awal kehamilan, hormon ini akan menentukan apakah janin akan berkelamin laki-laki atau perempuan. Kekurangan hormon ini di masa kehamilan akan menyebabkan kondisi yang disebut kelamin ambigu, di mana dari pemeriksaan luar jenis kelamin bayi yang baru lahir itu tidak jelas.

Jika kekurangan testosteron (hipogonadisme) terjadi selama masa pubertas, ini bisa memperlambat pertumbuhan dan mengganggu perkembangan karateristik sekunder pria.

"Anak laki-laki dengan kondisi ini tidak mengalami perubahan suara, serta organ genitalnya tidak sempurna, misalnya penis dan testisnya kecil," kata dr.Nugroho Setiawan spesialis andrologi, dalam acara dialog media bertajuk Seputar Masalah Intim Lelaki yang diadakan oleh Bayer di Jakarta (19/11/15).

Sementara itu, hipogonadisme yang dialami pria dewasa akan menyebabkan fungsi kepriaan seseorang terganggu.

Pria dengan kadar testosteron rendah akan mengalami gejala mudah lelah, loyo, libido rendah, serta disfungsi ereksi. Perubahan suasana hati, mudah tersinggung, dan depresi, juga bisa menyertai hipogonadisme.

Penyebab

Menurut Nugroho, ada beberapa penyebab hipogonadisme pria. Jika kekurangan testosteron terjadi pada masa pertumbuhan atau sebelum pubertas, bisa disebabkan karena kerusakan pada testis.

"Kelainan genetik bawaan, seperti kerusakan kromosom, atau juga karena testis mengalami radang atau trauma. Kondisi ini disebut juga dengan hipogonadisme primer," ujar dokter dari RS. Fatmawati Jakarta ini.

Sementara itu pada hipogonadisme sekunder testis berkembang normal tetapi tidak berfungsi normal karena kurangnya rangsangan dari hormon pituitari di otak.

"Penyebabnya bisa karena gaya hidup tidak sehat, stres tinggi sehingga hormonnya tertekan," ujarnya.

Penyakit kronis seperti sindrom metabolik yang ditandai dengan kadar gula darah dan kolesterol tinggi, serta penumpukan lemak di perut, juga bisa menyebabkan testosteron menurun.

"Separuh dari penderita penyakit metabolik juga mengalami disfungsi ereksi juga mengalami hipogodisme. Makanya ketiganya harus sama-sama diobati. Sambil berjalan akan ada perbaikan-perbaikan," paparnya.

Diagnosis hipogonadisme ditegakkan berdasarkan pada gejala dan hasil tes darah yang mengukur kadar testosteron.

Terapi hipogodasime bergantung pada penyebabnya. Terapi penggantian testosteron melalui suntikan, gel, atau plester, cukup efektif untuk memulihkan kadar testosteron normal.

Pada anak laki-laki yang menderita hipogonadisme, terapi ini bisa merangsang masa pubertas. "Pada anak pengobatan harus secepatnya dan diterapi sampai fisiologinya normal," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau