Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/02/2017, 13:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Penanganan berbagai penyakit langka di Indonesia belum optimal. Ketersediaan laboratorium dan obat untuk menunjang pengobatan penyakit langka menjadi kendala bagi orangtua yang anaknya menderita penyakit langka.

Hal itu diungkapkan Marlaen Oktavia (36), ibu dengan empat anak penderita hiperplasia adrenal kongenital (HAK), dihubungi dari Jakarta, Senin (27/2).

Warga Cipondoh, Tangerang, Banten, itu menuturkan, anaknya yang menderita HAK perlu menjalani sejumlah pemeriksaan hormon. Karena tak ada laboratorium di Tanah Air yang bisa melakukan itu, sampel dikirim ke laboratorium di Amerika Serikat untuk diperiksa.

"Untuk obat, kadang kosong karena harus impor. Saya berharap ada laboratorium di Indonesia yang bisa memeriksa dan harganya murah serta obat selalu tersedia," kata Marlaen, istri dari Fidri Yosephin (35), pengemudi ojek berbasis aplikasi itu.

HAK merupakan salah satu penyakit langka. HAK adalah kelainan bawaan pada kelenjar adrenal sehingga kemampuan membuat hormon kortisol dan aldesteron berkurang, tetapi membuat terlalu banyak hormon androgen. Bayi perempuan yang lahir dengan kelainan itu memiliki pembengkakan klitoris.

Hari terakhir bulan Februari setiap tahun diperingati sebagai Hari Penyakit Langka. Sejumlah kelompok orangtua pasien penyakit langka di dunia memperingatinya. Selain menyebarluaskan informasi tentang penyakit langka kepada masyarakat, peringatan itu juga untuk menggugah pemerintah agar memberikan dukungan kebijakan kepada mereka.

Menetapkan definisi

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Bhakti Pulungan menilai, pemerintah perlu mendefinisikan apa itu penyakit langka di Indonesia. Satu penyakit bisa termasuk langka di satu negara, tetapi bisa tidak langka di negara lain.

Ia mencontohkan, satu penyakit dikategorikan langka di AS jika kasusnya kurang dari 200.000 atau kurang dari 5 orang dari 10.000 warga. Setelah definisi ditentukan, registrasi kasus disiapkan. Jadi, besaran bebannya bisa tergambar.

Saat beban penyakit tergambar, kebutuhan obat juga bisa diketahui. "Obatnya bisa masuk formularium nasional," ujarnya.

Menurut Aman, penderita penyakit langka memiliki hak yang sama untuk mendapat layanan kesehatan yang baik. Agar bisa memberikan layanan yang baik, perlu sistem yang baik.

Secara terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Lily Sriwahyuni Sulistyowati mengatakan, Kemenkes akan menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria penyakit langka bekerja sama dengan organisasi profesi kesehatan. Bagian yang menangani penyakit langka Kemenkes baru terbentuk tahun lalu.

"Bagian gangguan indera dan pendengaran yang mengurusi penyakit kanker baru terbentuk. Jadi, penyakit langka bukan berarti tak prioritas, tapi bagian yang menangani baru ada," kata Lily.

Pihaknya mengapresiasi keberadaan kelompok dukungan atau asosiasi orangtua pasien penyakit langka. Mereka yang selama ini berperan menyebarkan informasi penyakit langka kepada masyarakat. (ADH)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul "Laboratorium dan Obat Jadi Kendala".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau