KOMPAS.com - Sindrom mielodisplasia mungkin masih asing di telinga masyarakat Indonesia. Namun, penyakit ini merupakan salah satu penyakit kronis yang mengancam jiwa.
Sindrom ini dikelompokkan sebagai salah satu jenis kanker darah yang langka.
Menurut Mayo Clinic, penyakit ini disebabkan oleh gangguan pada sumsum tulang sehingga sel darah terbentuk buruk atau tidak berfungsi dengan baik akibat gangguan.
Gejala awal sindrom ini seringkali tak terlihat. Namun, pasien biasanya mengalami hal-hal berikut ini:
Pada kondisi normal, sumsum tulang manusia akan memproduksi sel darah yang matang seiring berjalannya waktu.
Baca juga: 9 Manfaat Kesehatan Minum Teh Jahe, Kulit Lebih Muda hingga Cegah Kanker
Namun, sumsum tulang penderita sindrom ini tidak mampu memproduksi sel darah yang matang dalam jumlah yang cukup.
Sumsum tulang penderita sindrom mielodisplasia justru memproduksi sel darah abnormal yang belum sepenuhnya matang sehingga sel darah tersebut mudah rusak dan tidak berfungsi dengan optimal pada tubuh.
Seiring berjalannya waktu, sumsum tulang akan dipenuhi oleh sel darah yang abnormal tersebut sehingga menyebabkan berbagai masalah seperti kelelahan, infeksi, dan pendarahan.
Belum diketahui pasti apa yang menyebabkan seseorang bisa mengalami sindrom ini.
Perubahan DNA yang menyebabkan gangguan pada sumsum tulang dalam memproduksi sel darah juga bisa menjadi pemicunya.
Selain hal tersebut, berikut beberapa faktor yang bisa memicu sindrom mielodisplasia:
Baca juga: Belum Ada Vaksin Corona, Traveling ke Luar Negeri Bagaimana Baiknya?
Melansir SehatQ, pengobatan sindrom mielodisplasia dilakukanuntuk memperlambat perkembangan penyakit.
Selain itu, beberapa perawatan lain juga akan dianjurkan guna meredakan gejala yang dirasakan. Beberapa di antaranya meliputi:
Pemberian obat – obatan golongan growth factor seperti Eritropoietin untuk meningkatkan jumlah sel darah putih dan sel darah merah di tubuh.
Transfusi darah untuk menambah jumlah sel darah merah atau trombosit
Pemberian obat untuk membuang kelebihan zat besi yang umumnya terjadi setelah prosedur transfusi darah.