KOMPAS.com - Kafein adalah stimulan alami yang bisa kita temukan dalam minuman seperti kopi dan teh.
Zat tersebut juga kerap ditambahkan dalam minuman berenergi dan soda.
Kafein bisa meningkatkan zat kimia di otak yang memicu peningkatan suasana hati, mengatasi kelelahan, dan meningkatkan fokus.
Oleh karena itu, banyak orang mengonsumsi minuman berkafein agar kembali berenergi usai seharian penuh disibukan oleh pekerjaan.
Namun, seiring berjalannya waktu efek kafein ini tak lagi bisa dirasakan oleh orang yang kerap mengonsumsinya.
Mereka menjadi toleran atau kurang responsif terhadap efek kafein yang dikenal dengan istilah intoleransi kafein.
Baca juga: Sering Berpikir Negatif Tingkatkan Risiko Demensia, Kok Bisa?
Kafein bekerja dengan memblokir reseptor adenosin di otak, yang berperan dalam tidur, gairah, dan kognisi.
Jika reseptor adenosin saling berikatan, hal ini akan menghambat pelepasan bahan kimia otak yang meningkatkan gairah dan meningkatkan kesadaran.
Dengan menghalangi reseptor adenosin agar tak saling berikatan, terjadilah peningkatkan pelepasan bahan kimia otak yang meningkatkan gairah dan kesadaran.
Alhasil, rasa lelah pun berkurang dan kewaspadaan meningkat. riset menunjukkan dosis kafein yang tinggi dapat memblokir reseptor adenosin hingga 50 persen.
Efek stimulasi dari kafein terjadi dalam 30 hingga 60 menit setelah mengonsumsi zat tersebut dan bertahan selama tiga hingga lima jam.
Namun, mengonsumsi kafein secara teratur dapat meningkatkan produksi reseptor adenosin dan memungkinkan adanya ikatan antar reseptor adenosin.
Akibatnya, kondisi tersebut bisa mengurangi efek kafein dan menyebabkan kita mengalami intoleransi kafein.
Menurut ahli gizi Malina Malkani, toleransi kafein bisa terjadi hanya dalam tiga hinggalima hari usai mengonsumsinya secara teratur. Namun, hal tersebut bisa bervariasi untuk setiap individu.
"Beberapa orang memiliki faktor genetik yang menyebabkan kafein melakukan metabolisme lebih cepat daripada yang lain," ucapnya.
Selain itu, perbedaan berat badan juga bissa memengaruhu toleransi kafein.
Semakin tinggi berat badan seseorang, semakin besar kemungkinan mereka memiliki toleransi yang lebih tinggi.
"Jumlah dan frekuensi penggunaan kafein dan tingkat kecemasan secara keseluruhan adalah faktor lain yang memengaruhi seberapa cepat seseorang mengalami toleransi kafein," tambah Malkani.
Hal pertama yang terjadi ketika kita mengalami toleransi kafein adalah kita tidak lagi bisa fokus atau merasakan efek dari secangkir kopi yang kita minum.
"Kita membutuhkan lebih banyak kopi untuk merasakan efek yang diinginkan," ucap Malkani.
Baca juga: Mitos atau Fakta, Minum Kopi Bisa Menurunkan Berat Badan?
Untuk mengatasi toleransi kafein, kita harus mengurangi asupannya secara perlahan.
Mengkonsumsi lebih banyak kafein memang bisa membatu kita mengatasi kondisi tersebut, namun hal itu hanya berlaku dalam jangka pendek.
Mengurangi asupan kafein memang bisa membuat kita mengalami gejala penarikan seperti sakit kepala, jantung berdebar, dan kecemasan. Namun, gejala tersebut hanya berlangsung sementara.
Selain itu, Malkani juga menyarankan agar kita tidak melewatkan waktu makan karena bisa menyebabkan penurunan energi.
Akibatnya, kita kembali tergoda untuk mengonsumsi kafein demi membangun kembali energi yang hilang.
Untuk memperlambat penyerapan kafein, hindarilah mengonsumsi kopi saat perut kosong sehingga ktia tidak mudah mengalami toleransi kafein.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.