Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cara Melatih Anak Mengatur Emosi, Orang Tua Perlu Tahu

Kompas.com - 09/06/2021, 13:31 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

KOMPAS.com – Sama seperti orang dewasa, anak-anak juga bisa memiliki beragam perasaan atau emosi.

Bukan hanya itu, anak-anak bisa pula memiliki karakteristik yang khas dan khusus yang dapat membedakan dengan teman sebanyanya.

Para orang tua kiranya perlu mengenali emosi anak dan perkembangannya untuk membantu anak mengasah kecerdasan emosional mereka.

Baca juga: Ini Usia Ideal Anak Mulai Diberikan Pendidikan Seks

Kemampuan anak-anak untuk bereaksi secara emosional sebenarnya sudah ada sejak bayi baru lahir. Reaksi ini bisa ditunjukkan dengan menangis, tersenyum, dan frustasi.

Bahkan beberapa peneliti meyakini bahwa beberapa pekan setelah lahir, bayi dapat memperlihatkan bermacam-macam ekspresi dari semua emosi dasar, termasuk kebahagiaan, perhatian, keheranan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, dan kebosanan sesuai dengan situasinya.

“Anak-anak biasanya belum memiliki ‘vocabulary’ untuk mengemukakan perasaan mereka, sehingga mereka mengomunikasikan perasaan dengan cara-cara lain,” jelas dr. Anggia Hapsari, Sp.KJ (K), Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Konsultan Psikiatri Anak & Remaja RS Pondok Indah–Bintaro Jaya, Selasa (8/6/2021).

dr. Anggia menyampaikan, para orang tua perlu menyadari bahwa anak-anak terkadang dapat mengekspresikan perasaan mereka melalui perilaku yang tidak tepat dan menimbulkan masalah.

Setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni kira-kira usia 2-6 tahun, anak-anak pra-sekolah pada kenyatannya sudah bisa merasakan cinta dan mempunyai kemampuan untuk menjadi anak yang penuh kasih sayang, dapat merasakan anak lain yang sedang sedih, serta mulai merasa bersimpati, ingin menolong.

Baca juga: 12 Gejala GERD pada Bayi dan Anak yang Perlu Diwaspadai

Tapi, anak pra-sekolah cenderung baru dapat mengekspresikan satu emosi pada satu waktu. Mereka belum dapat memadukan emosi atau perasaan dari hal-hal yang membingungkan.

Menurut dr. Anggia, baru pada tahap usia sekolah (6-12 tahun), kemampuan kognitif anak-anak ini mulai berkembang. Di mana, mereka dapat mengekspresikan emosinya lebih bervariasi dan terkadang dapat mengekspresikan secara bersamaan dua bentuk emosi yang berbeda, bahkan bertolak belakang.

Anak mulai mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi sebagaimana juga mereka menguasai keterampilan regulasi perilaku yang memungkinkan mereka menyembunyikan emosinya dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial.

Sementara, ketika anak berusia 12 tahun ke atas, mereka sudah mampu menganalisis dan mengevaluasi cara mereka merasakan atau memikirkan sesuatu.

Begitu juga terhadap orang lain, anak yang hampir memasuki masa remaja ini, sudah dapat merasakan bentuk empati yang lebih dalam.

dr. Anggia menuturkan, perbedaan dalam perkembangan emosi anak ini membutuhkan perhatian khusus agar anak memiliki kemampuan meregulasi atau mengatur emosi mereka dengan tepat.

Baca juga: 6 Bahaya Obesitas pada Anak yang Perlu Diwaspadai

Cara melatih anak mengatur emosi

Untuk melatih anak agar memiliki kecerdasan emosional yang baik, dr. Anggia menyampaikan, memang memerlukan tahapan dan waktu yang tidak sebentar.

Dia memberi saran, berikut ini adalah beberapa langkah pertama yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk membantu anak meregulasi emosinya:

  1. Kenali emosi atau perasaan diri (name the feeling)
  2. Kenali emosi atau perasaan orang lain
  3. Hadir dan dengarkan perasaan anak
  4. Menanggapi dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan anak
  5. Tidak bereaksi negatif saat anak rewel atau marah
  6. Be a role model
  7. Senang bermain dengan anak dan tertarik dengan aktivitas anak
  8. Ajarkan teknik-teknik relaksasi (emotional toolbox)

dr. Anggia mewanti-wanti, terkadang anak-anak dapat mengalami emosi negatif, yang terkadang menjadi ledakan emosi. Sebenarnya hal ini dianggap wajar. Namun, ledakan emosi pada anak harus diwaspadai apabila:

  • Tantrum dan ledakan (outbursts) terjadi pada tahapan usia perkembangan di mana seharusnya sudah tidak terjadi, yaitu di atas usia 7-8 tahun
  • Perilaku anak sudah membahayakan dirinya atau orang lain
  • Perilaku anak menimbulkan masalah serius di sekolah
  • Perilaku anak memengaruhi kemampuannya bersosialisasi dengan teman, sehingga anak “dikucilkan” oleh teman-temannya
  • Tantrum dan perilaku anak telah membuat distress atau kesulitan dalam keseharian keluarga
  • Saat anak merasa tidak mampu mengendalikan emosi marahnya dan merasa dirinya “buruk”

Baca juga: Meneladan Mariana Yunita, Menyingkap Tabu Seksualitas, Melindungi Remaja

dr. Anggia menuturkan, berikut ini adalah beberapa faktor penyebab masalah emosi yang dapat terjadi pada anak-anak:

  • Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)
  • Kecemasan atau anxiety
  • Trauma
  • Kesulitan belajar
  • Gangguan pemrosesan sensori (sensory processing issues)
  • Spektrum autisme
  • Sedikit mendapat kasih sayang dari keluarga maupun teman
  • Terlalu terikat dengan satu figur yang dominan

Kepercayaan terhadap orangtua dan model figur yang mereka amati dalam keluarga berperan dalam membentuk kepercayaan diri anak. Hal ini dapat membantu anak untuk mengatys emosinya dan mendorongnya menjadi mandiri, serta berani mengambil risiko.

“Apabila si kecil memiliki karakter ini, maka diharapkan anak dapat berperilaku tepat dalam lingkungan sosialnya dan terhindar dari masalah penyesuaian diri dalam hidupnya,” jelas dr. Anggia.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com