KOMPAS.com - Para ahli mengatakan varian Delta COVID-19 menimbulkan ancaman karena tingkat penularan yang lebih tinggi daripada varian lain.
Selain itu, biasanya varian ini akan menyebabkan gejala tertentu yang dapat menyebabkan seseorang lebih lama menjalani rawat inap di rumah sakit.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), varian Delta, juga dikenal sebagai B.1.617.2, pertama kali terdeteksi di India tetapi sejak itu muncul di lebih dari 70 negara.
Baca juga: Kasus Covid-19 Melonjak, Pemkab Wonogiri Siapkan Tempat Isolasi di Desa
Merangkum dari Healthline, varian ini tidak hanya menyebar lebih mudah daripada strain sebelumnya, tetapi juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah.
Beberapa peneliti telah mengatakan bahwa vaksin sudah terbukti dapat melawan varian ini.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan bagi orang yang tidak divaksinasi dan mereka yang memiliki respons kekebalan yang lebih lemah terhadap virus.
Amerika Serikat dan Inggris telah sepenuhnya memvaksinasi sekitar 43 persen dari populasi mereka.
Namun, karena varian Delta lebih sering menginfeksi warga di Inggris Raya dalam beberapa pekan terakhir, negara tersebut mengalami lonjakan kasus COVID-19 .
Lonjakan serupa dalam kasus terlihat di India ketika varian Delta menyebar luas.
Para ahli mengatakan ini karena varian ini lebih mudah menular.
Baca juga: Jokowi Targetkan Vaksinasi Covid-19 Capai 1 Juta Suntikan Per Hari Mulai Awal Juli
Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengatakan akhir pekan lalu bahwa varian Delta sekitar 40 persen lebih mudah menular daripada varian Alpha.
Mengutip dari New York Times, dokter di China menemukan bahwa ketika varian Delta menyebar ke seluruh negeri, orang-orang memiliki gejala yang berbeda dan lebih parah daripada yang dilaporkan sebelumnya.
Ketika seseorang terinfeksi virus ini, biasanya ia akan mengalami demam.
Namun, tingkat virus dalam tubuh lebih tinggi dari varian lainnya.
Hal ini menyebabkan banyak orang mengalami sakit parah dalam 3 atau 4 hari sejak terinfeksi.