Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebiasaan yang Meningkatkan Risiko Kanker Payudara

Kompas.com - 04/06/2022, 14:00 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

KOMPAS.com - Sejumlah kebiasaan atau gaya hidup seseorang dapat membuatnya dalam risiko kanker payudara yang meningkat.

Mengutip Kementerian Kesehatan, penyakit kanker payudara menempati urutan pertama terkait jumlah kanker terbanyak di Indonesia dan menjadi salah satu penyumbang kematian pertama akibat kanker.

Data Globocan pada 2020, jumlah kasus baru kanker payudara mencapai 68.858 kasus (16,6 persen) dari total 396.914 kasus baru kanker di Indonesia.

Sementara itu, untuk jumlah kematian karena kanker payudara mencapai lebih dari 22 ribu jiwa kasus.

Pencapaian itu terjadi karena kebanyakan penderitanya berobat setelah tahap lanjut.

Padahal, kematian kanker payudara dapat dihindari asalkan dilakukan deteksi dini dan menghindari faktor risiko yang dapat meningkatkan penyakitnya.

Sementara itu, ada sejumlah kebiasaan yang dapat meningkatkan faktor risiko kanker payudara yang sepatutnya dihindari, yaitu:

Baca juga: Kanker Payudara Stadium 1, Apa Bisa Sembuh?

1. Minum alkohol

Mengutip American Cancer Society, kebiasaan minum alkohol jelas terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara.

Risiko meningkat sesuai dengan jumlah alkohol yang dikonsumsi berlebihan.

Wanita yang minum alkohol 1 gelas sehari memiliki peningkatan risiko kesil (sekitar 7-10 persen) dibandingkan dnegan mereka yang tidak minum.

Sementara wanita yang minum 2-3 gelas sehari, memiliki risiko kanker payudara 20 persen lebih tinggi.

Alkohol juga dikaitkan dnegan peningkkatan risiko jenis kanker lain.

Baca juga: Ciri-ciri Kanker Payudara Stadium Awal sampai Akhir

2. Berat badan yang tidak dikontrol

Mengutip American Cancer Society, kebiasaan yang membuat berat badan tidak terkontrol atau obesitas meningkatkan risiko kanker payudara, khususnya setelah menopause.

Sebelum menopause, estrogen sebagian besar dihasilkan oleh ovarium dan sebagian kecilnya dari jaringan lemak.

Sementara setelah menopause, estrgogen sebagian besar dihasilkan oleh jaringan lemak karena ovarium sudah berhenti memproduksinya.

Memiliki lebih banyak jaringan lemak setelah menopause dapat meningkatkan kadar estrogen, dan juga meningkatkan kemungkinan terkena kanker payudara.

Salah satu fungsi estrogen dalam tubuh wanita adalah untuk membantu pertumbuhan payudara.

Wanita yang kelebihan berat badan juga cenderung memiliki kadar insulin darah yang lebih tinggi.

Tingkat insulin yang lebih tinggi telah dikaitkan dengan beberapa jenis kanker, termasuk kanker payudara.

Baca juga: Faktor Risiko Kanker Payudara yang Sering Menyerang Wanita

Namun, hubungan antara berat badan dan risiko kanker payudara sangat kompleks. Sebagai contoh:

  • Risiko kanker payudara setelah menopause lebih tinggi pada wanita yang mengalami kenaikan berat badan saat dewasa.
  • Bagi wanita yang kelebihan berat badan atau obesitas sebelum menopause, risikonya sebenarnya lebih rendah.

Alasan untuk ini tidak begitu jelas.

Berat badan mungkin juga memiliki efek yang berbeda pada berbagai jenis kanker payudara. Sebagai contohnya sebagai berikut:

  • Kelebihan berat badan setelah menopause lebih terkait erat dengan peningkatan risiko kanker payudara reseptor hormon positif.
  • Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelebihan berat badan sebelum menopause dapat meningkatkan risiko kanker payudara triple-negatif yang kurang umum.

Para pakar merekomenasikan untuk Anda menjaga berat badan terukur sehat sepanjang hidup dengan menyeimbangkan asupan makanan dan minuman bergizi dengan aktivitas fisik.

Baca juga: Penyebab Kanker Payudara pada Pria dan Faktor Risikonya

3. Tidak aktif secara fisik

Mengutip American Cancer Society, bukti berkembang bahwa aktivitas fisik secara teratur mengurangi risiko kanker payudara, terutama pada wanita yang sudah menopause. 

Sehingga, mereka yang memiliki kebiasaan tidak aktif secara fisik atau istilah sekarang "mager" lebih tinggi memiliki risiko kanker payudara. 

Lalu, berapa banyak aktivitas yang dibutuhkan untuk menghindari kanker payudara?

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa bahkan hanya beberapa jam seminggu mungkin bisa membantu mengurangi faktor risikonya, meskipun lebih banyak tampaknya lebih baik.

Bagaimana tepatnya aktivitas fisik dapat mengurangi risiko kanker payudara belum jelas, tetapi diperkirakan karena efeknya pada berat badan, peradangan, dan kadar hormon.

Mengutip Kementerian Kesehatan, dianjurkan setiap orang melakukan aktivitas fisik minimal 150 menit setiap minggu.

Aktivitas fisik yang dimaksud adalah segala aktivitas yang memacu tubuh bergerak secara keseluruhan yang bisa dilakukan di rumah, tidak harus di klub kebugaran.

Misaalnya, naik turun tangga, jalan cepat, joging, berenang, maupun bersepeda.

Baca juga: 6 Ciri-ciri Kanker Payudara pada Pria, Tak Hanya Menyerang Wanita

4. Tidak memiliki anak

Mengutip American Cancer Society, wanita yang belum memiliki anak atau yang memiliki anak pertama setelah usia 30 tahun memiliki risiko kanker payudara yang sedikit lebih tinggi secara keseluruhan.

Memiliki banyak kehamilan dan hamil di usia muda dapat mengurangi risiko kanker payudara.

Namun, efek kehamilan pada risiko kanker payudara sangat kompleks.

Misalnya, risiko kanker payudara lebih tinggi selama sekitar dekade pertama setelah memiliki anak.

Risiko kemudian menjadi lebih rendah dari waktu ke waktu.

5. Tidak menyusui

Mengutip American Cancer Society, seorang wanita memiliki kebiasaan tidak menyusui atau memberikan ASI kepada anaknya setelah melahirkan lebih memiliki risiko kanker payudara dari pada yang melakukannya.  

Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan menyusui anak dapat sedikit menurunkan risiko kanker payudara, terutama jika terus berlanjut selama 1 tahun atau lebih.

Namun ini sulit dipelajari, terutama di negara-negara seperti Amerika Serikat, di mana menyusui selama ini jarang terjadi.

Penjelasan yang mungkin untuk efek ini adalah bahwa menyusui anak mengurangi jumlah total siklus menstruasi seumur hidup seorang wanita.

Itu sama seperti memulai periode menstruasi pada usia yang lebih tua atau melalui menopause dini.

Baca juga: Kanker Payudara Pria

6. Kontrol kelahiran

Mengutip American Cancer Society, beberapa metode pengendalian kelahiran menggunakan hormon dapat meningkatkan risiko kanker payudara.

Kontrasepsi oral

Sebagian besar penelitian menemukan bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi oral (pil KB) memiliki risiko kanker payudara yang sedikit lebih tinggi dari pada wanita yang tidak pernah menggunakannya.

Setelah pil dihentikan, risiko ini tampaknya kembali normal dalam waktu sekitar 10 tahun.

Suntikan KB

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mendapatkan suntikan progesteron jangka panjang (seperti Depo-Provera) setiap 3 bulan untuk pengendalian kelahiran dapat meningkatkan risiko kanker payudara, tetapi tidak semua penelitian menemukan hal ini.

Implan kontrasepsi, alat kontrasepsi (IUD), skin patch, cincin vagina

Bentuk-bentuk pengendalian kelahiran ini juga menggunakan hormon, yang secara teori dapat memicu pertumbuhan kanker payudara.

Beberapa penelitian telah menyimpulkan adanya hubungan antara penggunaan IUD pelepas hormon dan risiko kanker payudara.

Sementara, sedikit penelitian yang telah melihat hubungan penggunaan implan KB, patch, dan cincin dengan risiko kanker payudara.

Baca juga: 3 Penyebab Kanker Payudara Pada Pria

7. Terapi hormon menopause

Mengutip American Cancer Society, terapi hormon menopause (MHT) dengan estrogen (sering dikombinasikan dengan progesteron) telah digunakan selama bertahun-tahun.

Tujuannya untuk membantu meringankan gejala menopause dan membantu mencegah osteoporosis (penipisan tulang) pada wanita.

Perawatan ini juga menggunakan nama lain, seperti terapi hormon pasca-menopause (PHT) dan terapi penggantian hormon (HRT).

Ada 2 jenis utama terapi hormon:

  • Untuk wanita yang masih memiliki rahim (rahim), dokter umumnya meresepkan estrogen dan progesteron (dikenal sebagai terapi hormon kombinasi atau hanya HT). Progesteron diperlukan karena estrogen saja dapat meningkatkan risiko kanker rahim.
  • Untuk wanita yang telah menjalani histerektomi (yang tidak lagi memiliki rahim), estrogen saja dapat digunakan. Ini dikenal sebagai terapi penggantian estrogen (ERT) atau hanya terapi estrogen (ET).

Saat ini tidak banyak alasan kuat untuk menggunakan terapi hormon pascamenopause (baik kombinasi HT atau ET), selain kemungkinan untuk menghilangkan gejala menopause dalam jangka pendek.

Baca juga: Deodoran Bisa Memicu Kanker Payudara, Begini Alasannya

Kebiasaan menggunakan terapi hormon menopause ini telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara oleh sejumlah penelitian. 

Seiring dengan peningkatan risiko kanker payudara, kombinasi HT juga tampaknya meningkatkan risiko:

  • Penyakit jantung
  • Pembekuan darah
  • Stroke.

Terapi hormon menopause memang menurunkan risiko kanker kolorektal dan osteoporosis, tetapi harus dipertimbangkan terhadap adanya kemungkinan bahaya lain.

Apalagi, ada cara lain untuk mencegah dan mengobati osteoporosis dan skrining terkadang dapat mencegah kanker usus besar.

Meskipun belum jelas apakah ET meningkatkan risiko kanker payudara, itu meningkatkan risiko stroke.

Keputusan untuk menggunakan HT harus dibuat oleh seorang wanita dan dokternya setelah mempertimbangkan kemungkinan risiko dan manfaatnya, termasuk keparahan gejala menopausenya.

Selain itu, mempertimbangkan faktor risiko lainnya untuk penyakit jantung, kanker payudara, dan osteoporosis.

Jika kedua pihak memutuskan mencoba HT untuk gejala menopause, biasanya yang terbaik adalah menggunakan dengan dosis terendah yang sesuai dan untuk waktu sesingkat mungkin.

Baca juga: 4 Gejala Kanker Payudara Metastasis yang Umum Terjadi

8. Implan payudara

Mengutip American Cancer Society, implan payudara belum dikaitkan dengan peningkatan risiko jenis kanker payudara yang paling umum.

Namun, implan payudara telah dikaitkan dengan jenis limfoma non-Hodgkin yang langka yang disebut limfoma sel besar anaplastik terkait implan payudara (BIA-ALCL).  Itu dapat terbentuk di jaringan parut di sekitar implan.

Limfoma ini tampaknya lebih sering terjadi pada wanita yang memiliki implan dengan permukaan bertekstur (kasar) dari pada permukaan halus.

Jika BIA-ALCL terjadi setelah implan dilakukan, dapat muncul sebagai:

  • Benjolan
  • Kumpulan cairan
  • Pembengkakan
  • Nyeri di dekat implan
  • Perubahan ukuran atau bentuk payudara.

Sehingga, tetap perlu diwaspadai terhadap adanya kemungkinan munculnya peningkatan risiko kanker payudara.

Baca juga: Tak Hanya Benjolan, Inilah Gejala Lain Kanker Payudara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau