Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahaya Terlalu Banyak Konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan

Kompas.com - 25/08/2022, 12:00 WIB
Ria Apriani Kusumastuti,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) sekarang ini sangat mudah diakses di toko-toko terdekat.

Tidak hanya orang dewasa saja, ternyata anak-anak juga bisa dengan mudah membeli MBDK sehingga konsumsi per hari sangat tinggi.

Menurut Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), iklan MBDK sangat marak dan harga produk yang murah mendorong konsumsi dari masyarakat.

Bahkan, konsumsi per hari bisa lebih dari satu kali.

Baca juga: Milk Tea Brown Sugar Jadi Boba Paling Tidak Sehat, Bagaimana Baiknya?


Hal ini menjadi perhatian CISDI sehingga diangkat menjadi topik dalam webinar yang diselenggarakan pada 23 Agustus 2022, dengan judul Diskusi Publik: Masa Depan Pengendalian Minuman Berpemanis dalam Kemasan.

Webinar ini menghadirkan beberapa pembicara, antara lain David Coloza, Nutrition Specialist UNICEF; Citta Widagdo, PhD Candidate of Birmingham Law School; Gita Kusnadi, Research Associate CISDI; dan dr. Elvieda Sariwati, M.Epid, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PRM), Kementerian Kesehatan.

Kaitan antara MBDK dan penyakit tidak menular (PTM)

Di dalam webinar ini, David menjelaskan bahwa lingkungan menyebabkan konsumsi MBDK meningkat dan sejalan dengan bertambahnya PTM, seperti obesitas, tekanan darah tinggi, peningkatan Indeks Massa Tubuh, hingga kolesterol tinggi.

Dari data Riskesdas 2018 yang disampaikan David, diketahui bahwa 1 dari 3 orang dewasa, 1 dari 5 anak usia sekolah, dan 1 dari 7 remaja di Indonesia mengalami obesitas.

David juga menjelaskan bahwa mudahnya akses terhadap MBDK menjadi salah satu penyebab obesitas di Indonesia.

Tidak hanya itu saja, pemasaran produk MBDK secara besar-besaran memicu tingginya konsumsi MBDK, termasuk di dalam lingkungan pendidikan.

Hasil data dari Susenas tahun 1996-2014 juga disampaikan oleh Gita pada webinar kali ini.

Gita menjelaskan bahwa ada peningkatan konsumsi total MBDK hingga 15 kali lipat selama 2 dekade terakhir.

Peningkatan tersebut juga dibarengi dengan peningkatan penyebab kematian tertinggi di Indonesia pada tahun 2009-2019 dan PTM menempati posisi 7 teratas, termasuk obesitas dan diabetes.

“Diabetes ini merupakan salah satu penyakit yang sangat erat kaitannya dengan konsumsi tinggi MBDK,” jelas Gita.

Baca juga: Pemanis Buatan Berisiko Sebabkan Kanker

Apa yang bisa dilakukan untuk menekan konsumsi MBDK?

David menyarankan bahwa penekanan konsumsi MBDK bisa dilakukan dengan membentuk lingkungan yang mendukung konsumsi makanan dan gaya hidup sehat.

Selain itu, David juga menyarankan beberapa poin untuk digarisbawahi, seperti:

  • Anak-anak obesitas menjadi target utama
  • Implementasi cukai untuk makanan atau minuman tidak sehat, termasuk MBDK
  • Kewajiban pemilik usaha untuk mencantumkan label nutrisi di dalam kemasan
  • Regulasi dan pemantauan terhadap pemasaran makanan atau minuman yang tidak sehat
  • Regulasi yang berkaitan dengan lingkungan sekolah

Citta menyebutkan bahwa saat ini ada momentum global untuk menerapkan kebijakan yang berkaitan dengan MBDK karena sudah banyak negara yang menerapkan kebijakan serupa.

“Ada 54 negara di dunia yang memiliki setidaknya sebuah bentuk cukai MBDK tersebut, seperti di Meksiko, di beberapa kota di Amerika Serikat,” jelas Citta.

Gita juga menambahkan bahwa negara-negara di Asia Tenggara juga sudah mulai menerapkan kebijakan tersebut sejak 2017, seperti di Brunei, Filipina, Malaysia, dan Thailand.

Regulasi untuk makanan atau minuman tidak sehat, seperti MBDK, di Indonesia sebenarnya sudah mulai dilakukan.

Namun menurut Elvieda, yang belum ada adalah kebijakan fiskal yang diterapkan untuk MBDK di Indonesia.

Meskipun begitu, ada perkembangan mengenai rencana penerapan cukai untuk MBDK di Indonesia.

Elvieda menjelaskan bahwa sudah ada koordinasi dengan Kemenkeu untuk mengimplementasikan kebijakan cukai MBDK.

Elvieda juga berharap bahwa rencana kebijakan tersebut akan selesai tahun ini dan penerapannya bisa dilakukan di tahun depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com