Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sunardi Siswodiharjo
Food Engineer dan Praktisi Kebugaran

Food engineer; R&D manager–multinational food corporation (2009 – 2019); Pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan.

Narasi Nutrisi dan Kesehatan di Zaman Pasca-Kebenaran

Kompas.com - 08/05/2023, 10:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INFORMASI seperti ini benar atau enggak ya?” Begitu tanya seorang teman di sebuah grup WhatsApp beberapa waktu lalu.

Dia membagi tautan sebuah berita dan sekali lagi menanyakan kebenaran dari testimoni terkait kesuksesan diet seorang pesohor yang dramatis, tanpa disertai olahraga. “Kita jadi bingung, apakah benar cara diet seperti si artis itu ya…?” lanjut dia.

Harus diakui sebagian besar masyarakat hanya mengandalkan sumber-sumber berita serta informasi penting sebatas dari media sosial, yang kebanyakan sumbernya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Baca juga: Jangan Mudah Percaya, Banyak Informasi Kesehatan yang Menyesatkan

Kebiasaan membaca dari media arus utama, versi digital atau cetak, yang umumnya berbayar atau harus berlangganan, semakin tidak banyak dilakukan oleh masyarakat, termasuk teman saya tadi.

Kekuatan dan Sisi Gelap Media Sosial

Mudah untuk menjelaskan betapa sebagian besar masyarakat kita masih sangat menyandarkan sumber berita ataupun informasi penting dari media sosial. Data empiris menggambarkan, media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat Indonesia.

Menurut DataReportal, sejak Januari 2022, sebanyak 191,4 juta orang Indonesia menjadi pengguna aktif media sosial, baik di YouTube, Facebook , Instagram, TikTok, Whatsapp, maupun Twitter. Angka tersebut setara dengan hampir 70 persen total populasi Indonesia, atau meliputi hampir semua orang usia 15 – 64 tahun.

Era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 telah menjadikan digital sebagai episentrum pertemuan lintas manusia juga budaya, sekaligus menghadirkan tantangan yang berbeda dan bisa jadi lebih berat ketimbang masa-masa sebelumnya.

Baca juga: Banyak Informasi Menyesatkan, Begini Cara Mengidentifikasi Hoaks

Persoalan seperti fake news, post-truth, hingga the death of expertise hanya merupakan sedikit contoh akibat keberadaan era baru tersebut. Era yang tidak hanya menyajikan kemudahan, tetapi juga banyak tantangan baru dalam hidup.

Masyarakat, siapapun dia, nyatanya bisa beropini atau menyuarakan pendapatnya dengan mudah dan bebas, mampu memproduksi berita semaunya serta membentuk opini melalui platform media sosial.

Post-truth (pasca-kebenaran) merupakan istilah yang menggambarkan suatu keadaan di mana fakta obyektif memiliki pengaruh yang justru kurang signifikan dalam membentuk opini publik daripada emosi, keyakinan, dan pandangan pribadi. Dalam konteks ini, opini dan pandangan subyektif seseorang cenderung lebih memengaruhi pemikiran dan tindakan mereka daripada fakta-fakta yang dapat diverifikasi secara empiris.

Kamus Oxford pernah memilih post-truth sebagai word of the year pada 2016. Secara khusus, di zaman pasca-kebenaran, masyarakat tidak lagi memercayai fakta-fakta obyektif, tetapi mereka lebih merujuk pada sesuatu yang didasarkan atas kepercayaan atau emosi semata yang bahkan tidak didukung fakta.

Fenomena post truth dan meredupnya kepakaran seiring menyeruaknya berbagai alternatif informasi di ruang-ruang publik menjadi tantangan maha berat bagi kita terhadap banyak isu termasuk persoalan nutrisi dan kesehatan.

Baca juga: 5 Manfaat Air Mentimun untuk Kesehatan

Meredupnya kepakaran sejatinya adalah cerminan perilaku kita saat ini di dunia maya. Adanya kelas sosial baru yang dicirikan dengan kebebalan dan bicara tanpa otoritas keilmuan yang memadai, dialog publik yang tidak memiliki ketelitian intelektual, serta banyaknya orang awam yang mengabaikan fakta, namun berani ’ugal-ugalan’ menyerupai para pakar.

Namun, hebatnya, mereka dapat menggerakkan dan membentuk ruang publik kita. Kebenaran dengan hoaks bisa ditukar sedemikian rupa, kemudian ditebar kesadaran palsu untuk sekedar memperoleh follower yang lalu bisa di-monetize.

Ilustrasi informasi hoaks yang sangat mudah didapatkan di dunia maya.Dok. iStock Ilustrasi informasi hoaks yang sangat mudah didapatkan di dunia maya.
Kredibilitas Sumber Informasi

Seturut dengan semakin banyaknya platform dan media yang menyediakan informasi, para konsumen pangan harus dapat memastikan bahwa informasi yang mereka terima valid, benar, dan dapat dipercaya. Namun, pada saat opini dan fakta seringkali dicampur aduk dan sulit dibedakan, kualitas informasi terkait dengan nutrisi dan kesehatan menjadi semakin sulit untuk diakses.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau