Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

Jangan Berhenti Beraktivitas

Kompas.com - 17/12/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BUKANNYA tidak terasa, capaian bonus usia beberapa bulan lalu hingga 77 tahun – istri saya bilang doubleseven -- bukan hal yang biasa-biasa saja.

Ada sedikit “kesombongan” ketika berbicara dengan sahabat yang usianya lebih muda, “Aku pernah muda, kamu belum pernah tua”, yang selalu jadi bahan membuat tawa berderai.

Banyak orang dikaruniai Allah Yang Maha Tunggal, mencapai usia lanjut yang mengungkapkan rahasia pribadinya.

“Jangan pernah berhenti, jangan pernah beristirahat sepanjang otak dan fisik masih mampu berkarya,” ujar mereka rata-rata.

Mengikuti saran itu, saya aktif menulis yang dimuat di media-media mainstream dan diperkenalkan sebagai kolumnis mereka.

Pro bono publico, yang penting tulisan saya dibaca, kebanyakan memang tentang (teknologi) telekomunikasi dan transportasi.

Namun banyak di antara sahabat yang sudah mencapai usia pensiun lalu bersantai, menikmati hari tua dengan tidak neko-neko, menikmati derai ceria cucu dan bahkan cicit.

Yang punya tabungan, keliling dunia sesering mungkin, menikmati apa yang tidak bisa dinikmati saat masih sibuk sebagai karyawan, atau karena bos di satu entitas bisnis, atau bahkan dari kegiatan sosialnya.

Menghentikan tiba-tiba suatu kegiatan rutin dengan lebih banyak di rumah, membaca, menonton televisi atau mendengar musik, sejatinya bukan kegiatan “yang baik” bagi manula.

Apalagi meratapi kejayaan yang baru saja lenyap tanpa ada kemungkinan meraihnya kembali, yang umum disebut sebagai post power syndrome.

Itu kondisi ketika seseorang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang pernah dimilikinya dan belum bisa menerima kehilangannya.

Post power syndrome sering dialami orang yang baru pensiun dan hilangnya rutinitas sehari-hari.

Bisa melandai

Menurut dr Andhika Respati SpKO dari Klinik Utama Welspro, ketika kegiatan seseorang (manula) berhenti atau beristirahat, kemampuan otot penunjang tubuhnya langsung drop, penuh kesulitan ketika akan bergerak.

Perlu upaya yang berat ketika si manula ingin bangkit lagi, karena penuh perjuangan, perlu semangat tinggi dan harus aktif bergerak, termasuk berolahraga.

Olahraga kunci menjaga kekuatan dan jumlah massa otot, yang kalau kuat kita menjadi lebih fleksibel, mudah bergerak, tulang juga menjadi kuat, dan akhirnya bugar.

Kata Dhika, ada empat organ tubuh yang mengalami penurunan fungsi atau kinerjanya, fungsi jantung, paru-paru, massa otot dan masa tulang, yang tidak bisa dihindari karena itu hal yang natural walau bisa diperlambat.

Kalau seseorang terbiasa berolahraga, penurunannya landai dan melakukan kegiatan tidak cepat capai.

Juga pada sendi lutut yang sangat dipengaruhi kekuatan massa otot seseorang, yang kalau lemah sendi pun rusak.

Yang harus dilakukan adalah mempertahankan keempat fungsi tadi dengan gaya hidup aktif dan sehat, olahraga dan kebiasaan makan.

Jalan kaki merangsang kinerja jantung, otot harus tetap diperkuat dengan latihan, peregangan (stretching) supaya otot tidak kaku, dan yang keempat latihan keseimbangan untuk kordinasi gerak.

Lansia sangat rentan jatuh akibat keseimbangan badan tidak dilatih. Penurunan fungsi otot bagi lansia bisa lebih cepat, namun dapat diperbaiki dengan berbagai latihan yang bisa dimulai kapan saja, pada usia 50 tahun atau lebih, katanya.

Jika kondisi fisik badan bagus orang akan sehat dan hidup lebih lama. Soal umur, serahkan pada Sang Pemilik Waktu.

Hidup adalah bergerak, terus bergerak melenggang dan melenggok agar tetap bugar, dan umur panjang.

Kursi roda

Suatu kali tahun 1995, bersama anak dan cucu pertama yang masih bayi, berolah raga lari di kerimbunan Kampus UI Depok.

Walau terbiasa lari 10 km seminggu tiga kali, tetapi tiba-tiba saya terjatuh tanpa sebab, dan belakang lutut saya membengkak.

Bengkaknya kemudian hilang setelah ditekukan lutut diganjal bola tenis selama beberapa waktu.

Ketika masih punya kerja, ikut “ngejim” dan di treadmill saya lari 9-10 kilometer, kecepatan sekitar delapan km per jam.

Instruktur saya mengingatkan, untuk usia di atas 40 tahun tidak disarankan untuk lari cepat dan jauh karena berpengaruh pada kesehatan lutut. Baiknya jalan kaki atau berenang saja.

Suatu hari, kedua lutut saya sakit dan sulit berjalan, nyerinya dalam sekali. Padahal rutin, usai shalat subuh di masjid yang jaraknya hanya 400-an meter dari rumah, berkeliling dan menyeberang kompleks berjalan kaki.

Setidaknya seminggu tiga kali berjalan pagi sepanjang 6 kilometer – 8 kilometer, pulang sudah waktu syuruq, saat matahari terbit. Kadangkala shalat syuruq dikerjakan di mesjid tengah perjalanan.

Qodratullah, sehabis jalan di treadmil tujuh kilometer, duduk sebentar, tiba-tiba sulit bangun karena lutut nyeri sekali.

Akhirnya konsultasi dengan dokter orthopedi, MRI dan ronsen, terlihat ada kerusakan di sambungan lutut, harus operasi. Usai operasi dilarang banyak bergerak, ke mana-mana harus pakai kursi roda, atau kruk yang diberi gratis pakai BPJS.

Dua bulan setelahnya operasi lutut kedua, lalu istirahat lagi dua bulan dan sampai hampir dua tahun masih belum mampu sujud ketika beribadah shalat, sesuatu yang membuat saya gundah.

Usia metabolisme

Shalat setiap waktu harus duduk, kalau di masjid di baris paling depan kanan, di depan pendingin udara yang tinggi dan besar. Selalu ada kursi lipat yang disiapkan marbot.

Tetapi istri saya, Ratnasari bt Abubakar bilang, kaki saya tampak makin mengecil dan saya merasa makin sulit berjalan walau pakai tongkat.

Ketika bangun dari duduk lama atau bangun tidur, perlu waktu sekitar 40 detik diam berdiri sebelum lutut “normal” sampai bisa melangkah, tertatih-tatih.

Oleh dokter ortho dirujuk ke klinik rehabilitasi medik. Diperiksa berbagai cara termasuk naik sepeda statis, dipijat dan angkat-taruh kaki, diperiksa lewat komputer.

Ternyata otot gerak yang menunjang lutut sudah sangat lemah, tidak mampu menunjang tubuh saya yang tinggi 165 cm berat 86,6 kg.

Empat bulan istirahat pascaoperasi telah melemahkan otot, yang bisa terus lumpuh dan harus berkursi roda sepanjang sisa usia. Mengerikan sekali.

Apakah saya bisa pulih lagi, Dok?

Bisa, dengan terapi yang tahap pertama butuh enam kali dalam dua minggu, yang hasilnya akan menentukan berapa kali dan jenis terapi apa lagi yang dibutuhkan sampai mendekati normal.

Saya tidak mau lumpuh, tidak mau berkawan dengan kursi roda, saya ingin bisa shalat dengan gerakan lengkap, sujud.

Insya Allah, dengan izin Allah. Soal biaya, dengan perkenan-Nya, pasti ada rezeki dari Allah. Aamiin Ya Rabb.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com