PENYAKIT TBC (tuberkulosis) masih menjadi ancaman nyata penduduk Indonesia. Keberhasilan penemuan kasus (insiden) dan pengobatan selama ini ternyata tidak menurunkan penularan TBC di masyarakat.
Tidak hanya usia produktif, transmisi TBC juga mengancam anak-anak. Kondisi itu sangat memprihatinkan.
Penyakit TBC menyerang penduduk miskin dengan gizi yang buruk dan kondisi lingkungan yang kumuh. Penduduk yang secara sosial ekonomi tertekan menjadi semakin tidak berdaya karena TBC. Mereka kehilangan akses untuk produktif dan menjadi terpinggirkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan transmisi TBC di masyarakat yang masih tinggi tersebut, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan Indonesia sebagai high burden countries berdasarkan tiga indikator (triple burden) yaitu insiden TBC, TBC-HIV, dan MDR-TBC (multy drug resisten).
Baca juga: Kemenkes Targetkan Deteksi TBC Capai 90 Persen pada 2024
Persoalan itu memperberat Indonesia dalam mencapai target bebas TBC tahun 2030. Memang, pemberantasan TBC di Indonesia mengalami tantangan tidak ringan. Kemenkes menyebut setiap tahun tidak kurang 850 ribu orang tertular dan 13 orang meninggal karena TBC setiap jam.
Penurunan kasus dari tahun ke tahun Indonesia tergolong rendah dibanding negara lain yang telah mencapai 5 persen. Kita menghadapi masalah keterlambatan diagnosa, keteraturan berobat, dan akses pelayanan yang terkendala.
Penyakit TBC sangat mengkhawatirkan karena menularnya gampang, penderita di usia produktif, jumlah insiden cukup besar, tak ada batas geografi, dan tingkat kematian tinggi. Dampak penyakit TBC tidak hanya kesehatan, tapi juga kondisi psikologis dan sosial-ekonomi penderita dan keluarganya.
Keluarga dan anak penderita TBC terancam terinfeksi dan menjadi tidak produktif. WHO pernah merilis 1,7 miliar penduduk dunia telah terinfeksi TBC. Namun sebagian besar bakteri tertidur dan sekitar 10 juta penderita TBC aktif dan menjadi sumber penularan tanpa pengobatan.
Baca juga: WHO: Jumlah Kematian akibat TBC Naik Lagi di Eropa, Kali Pertama dalam 20 Tahun
Dapat dibayangkan produktivitas dan hari kerja yang hilang akibat penyakit kronis TBC. Di Indonesia data terbaru Kemenkes menunjukkan jumlah kasus baru 845 ribu penderita, rata-rata 319 orang per 100 ribu penduduk.
Jumlah kasus TBC anak 52.929 kasus, penderita HIV dengan TBC 7.729 kasus, TBC resisten obat 4400 kasus. Kematian akibat TBC di Indonesia mencapai 107 ribu atau rata-rata 40 orang per 100 ribu penduduk.
Hal yang juga bikin runyam, sebesar 47 persen penderita yang ada di tengah masyarakat belum ditemukan dan diobati. Mereka menjadi sumber penularan sehingga kita belum bisa menghentikan transmisi TBC dalam masyarakat.
Sumber penularan yang terbuka telah membuat Indonesia dapat dikatakan lemah memberantas penyakit TBC. Strategi yang ditetapkan selama ini belum menyentuh penderita TBC yang tersembunyi.
Pemberantasan TBC yang selama ini dikenal dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcouse) perlu digencarkan lagi. DOTS dijabarkan sebagai identifikasi bakteri tahan asam (BTA) positif, observasi langsung pasien, pengobatan jangka pendek, dan ketersediaan obat yang baik.
Dalam berbagai tinjauan, kelemahan ditemukan dalam setiap tahap pelaksanaan strategi DOTS.
Triple burden disease yang terjadi yaitu insiden TBC yang masih tinggi, insiden TBC-HIV, dan kasus MDR-TBC yang terus meningkat. Ketiganya mengakibatkan dampak mengenaskan pada kondisi sosial ekonomi dan produktivitas sumber daya manusia (SDM).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya