KOMPAS.com - Demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia sudah banyak menyebabkan kematian.
Menurut Kepala Komunikasi dan Pelayanan Publik laporan Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi pada Kamis (18/4/2024), hingga minggu ke-15 pada 2024 saja kasus kematian akibat DBD sudah naik tiga kali lipat dibandingkan periode yang sama pada 2023.
Baca juga: Beda Demam Dengue dan Demam Berdarah
Demam berdarah dengue adalah bentuk demam berdarah yang parah pada orang yang sudah terinfeksi demam berdarah melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, seperti yang dikutip dari Medicine Net.
Penderita demam berdarah dengue (DBD) membutuhkan perhatian medis segera.
Penderita DBD sebaiknya dirawat di rumah sakit agar mendapat perawatan optimal dan mencegah kematian. Meski menurut Organisasi Kesheatan Dunia (WHO), tidak ada pengobatan khusus untuk DBD.
Deteksi dini serta akses terhadap perawatan medis yang tepat sangat menurunkan angka kematian akibat demam berdarah dengue.
Untuk itu, sangat penting mengetahui tanda peringatan DBD. Berikut artikel ini akan mengulasnya.
Baca juga: Kenali Tanda Kritis Dengue yang Bisa Mengakibatkan Kematian
Menurut penjelasan Medicine Net, demam berdarah dimulai tiga hingga 14 hari setelah gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Sedangkan, serangan DBD dimulai tiga hingga tujuh hari setelah timbulnya gejala demam berdarah.
Dikutip dari MSD Manuals, DBD sering kali dimulai dengan demam mendadak dan sakit kepala.
Pada awalnya, tanda-tanda DBD tidak dapat dibedakan dengan demam berdarah klasik.
Baca juga: Cara Pencegahan DBD, dari 3M Plus hingga Menjaga Daya Tahan Tubuh
Diperkirakan tanda-tanda peringatan demam berdarah dengue meliputi berikut:
Selain DBD, demam berdarah juga bisa menyebabkan rusaknya peredaran darah dan kegagalan multiorgan, yang disebut sebagai dengue shock syndrome.
Komplikasi ini dapat berkembang cepat antara dua hingga enam hari setelah timbulnya gejala demam berdarah.
Jika tanda-tanda peringatan DBD tidak segera diatasi dengan baik, menurut Medicine Net, dapat terjadi beberapa komplikasi, seperti kerusakan otak, ensefalitis (peradangan dan pembengkakan otak akibat infeksi virus atau penyebab lainnya), gagal hati, dan kejang.
Baca juga: Kemenkes: Teknologi Wolbachia untuk Atasi DBD Bukan Rekayasa Genetik
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.