HARGA obat di Indonesia mahal dan masyarakat tetap membelinya. Tidak seperti kebutuhan lain, obat harus dibeli ketika sakit. Berdasarkan resep dokter, pasien menuju apotek dan membayar harga obat tanpa bisa menawar.
Sengkarut obat mahal tidak sekarang saja. Bahkan sudah beberapa dekade lalu, harga obat di Indonesia dirasakan mahal. Dalam inflasi pembiayaan kesehatan, harga obat menjadi komponen yang membuat inflasi biaya kesehatan tinggi.
Pada 2023, peningkatan biaya kesehatan Indonesia sebesar 13,6 persen yang disebabkan kenaikan barang medis (obat, alkes), klaim asuransi dan penundaan perawatan yang dilakukan di tengah masyarakat karena pertimbangan medis maupun nonmedis.
Obat yang mahal akan memengaruhi daya beli masyarakat untuk berobat dan mendapatkan pelayanan kesehatan.
Pembiayaan yang dikeluarkan negara juga kian membengkak jika inflasi harga obat terus naik. Pada akhirnya pembatasan-pembatasan pelayanan ditetapkan untuk menjaga kelangsungan pembiayaan kesehatan.
Dispensing obat oleh praktisi medis sebetulnya telah memotong rantai distribusi obat dalam masyarakat. Di beberapa tempat, dispensing dilakukan dokter sejak lama. Bahkan paramedis di pelosok juga mempraktikkannya karena kebutuhan masyarakat.
Dalam dispensing obat meliputi menyiapkan obat, perhitungan jumlah obat, peracikan obat, pemberian etiket obat, pemeriksaan ulang obat (nama, kedaluwarsa, fisik obat), dan pemberian informasi obat kepada pasien (manfaat, cara penggunaan, penyimpanan obat).
Dispensing obat oleh dokter ternyata tidak menurunkan harga obat secara umum. Rantai distribusi boleh terpotong, tapi harga obat tetap mahal.
Belum lagi scope work dispensing sebetulnya menjadi tugas apoteker sesuai kewenangan yang dimiliki.
Apoteker yang bertanggung jawab menyiapkan obat sesuai resep dokter maupun pelayanan nonresep dokter. Seperti pasien yang membutuhkan obat bebas, obat bebas terbatas, termasuk dalam pelayanan swamedikasi. Masih banyak masyarakat mendapatkan obat tanpa pelayanan apoteker.
Obat mahal biasanya tergolong obat paten yang dianggap banyak orang sebagai obat paling mutakhir. Obat ini hasil dari proses penelitian panjang, dan merupakan produk pertama yang dihasilkan perusahaan farmasi melalui uji praklinis dan klinis yang kemudian dipasarkan secara komersial.
Penelitian menyatakan harga obat yang mahal tidak lebih berkualitas dengan obat murah. Sepertiga dari sampel obat yang diteliti memiliki kulitas yang sama dengan perbedaan harga lebih 10 kali lipat (Oktober, 2023).
Dinyatakan oleh Menkes bahwa obat di Indonesia mahal dibanding kawasan lain di Asia Tenggara. Harga obat generik dengan harga obat merek dagang bisa berbanding 1,37 – 22,34 kali. Kemahalan akan dirasakan masyarakat dan menghambat kesehatan.
Obat merek dagang telah mengepung pasar Indonesia. Proporsi obat merek dagang (generik bermerek dan obat paten) mencapai lebih 80 persen. Sedang obatan generik dengan harga lebih murah dengan khasiat sama tak lebih 17 persen.
Di Indonesia juga terlihat bagaimana obat generik yang bermerek (bukan paten/originator) mempunyai harga yang berlipat ganda dengan obat generik yang sama, meski memiliki kandungan dan manfaat sama.