Superioritas para atlet lari cepat tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan profesor kinesiologi Edward Merritt tahun 2021. Ia mempublikasikan penelitiannya terkait pengaruh usia pada perbedaan performa di ajang aerobik dan anaerobik.
Dalam ajang aerobik, seperti maraton, otot mendapatkan cukup oksigen untuk menggunakan lemak dan karbohidrat sebagai bahan bakar utamanya.
Sementara itu, di cabang anaerobik, seperti lari gawang 110 m, terjadi kekurangan oksigen dan tubuh malah membakar glukosa yang tersimpan secara lokal di otot. Persediaan ini cepat habis.
Usia rata-rata untuk mencapai puncak kinerja anaerobik adalah sekitar 23 tahun, dibandingkan dengan 26 tahun untuk ajang aerobik, demikian temuan penelitian tersebut.
Baca juga: Zeng Zhiying, Perjuangan Mewujudkan Impian Olimpiade di Usia 58 Tahun
Mereka yang berusia di bawah 30 tahun sering kali unggul dalam lari cepat berkat otot mereka. Pelari cepat memiliki banyak serat otot kontraksi cepat, yang menghasilkan kontraksi otot yang pendek dan kuat tetapi cepat lelah.
Olahraga eksplosif seperti lari cepat 100 m juga melelahkan bagi tubuh dan sering kali dapat menyebabkan cedera, terutama pada tendon Achilles di punggung bawah kaki, dan otot hamstring di punggung atas kaki.
"Pelari cepat muda memiliki refleks yang cepat. Jika Anda mengikuti lomba jarak pendek, start sangat penting untuk finis yang kuat," kata Palmer.
Penelitian menunjukkan bahwa waktu reaksi mencapai puncaknya pada usia 24 tahun dan menurun sekitar empat hingga 10 milidetik setiap tahun, setidaknya pada non-atlet.
Dalam balapan, reaksi seseorang yang berusia 34 tahun bisa lebih lambat hingga 100 milidetik dibandingkan satu dekade sebelumnya. Hal itu bisa menjadi pembeda antara kemenangan dan kekalahan.
Penurunan itu berasal dari perubahan pada serabut saraf yang memperlambat kecepatan penyampaian sinyal.
Pada cabang olahraga dinamis seperti gimnastik atau senam, atlet-atlet muda jauh lebih unggul karena semakin bertambah usia, makin turun kelenturan tubuh manusia.
"Tubuh mungkin bisa diperkuat, tetapi tidak cukup lentur. Penurunan fleksibilitas ini sebagian terkait dengan hilangnya elastisitas dan air dalam tendon, serta peningkatan kekakuan pada persendian," papar Palmer.
Dalam penelitian di The Journal of Human Sport and Exercise yang membandingkan performa puncak di Olimpiade London 2021, disebutkan bahwa rata-rata atlet gimnastik putra mencapai puncak kesuksesan di usia 24 tahun, sedangkan pada putri usia 19 tahun.
Baca juga: Profil Rifda Irfanaluthfi, Pesenam Pertama Indonesia di Olimpiade
Perbedaan antara atlet putra dan putri itu menunjukkan perbedaan pada fisiologi dan laju maturasi, selain juga perbedaan pada jenis lomba yang mereka ikuti.
Namun, dalam cabang senam putri, zaman telah berubah. Secara historis, cabang olahraga senam Olimpiade menampilkan atlet-atlet seperti Nadia Comaneci dan Dominique Moceanu, yang keduanya berusia 14 tahun saat memenangkan medali emas masing-masing.