KOMPAS.com - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengingatkan bahwa aborsi memiliki risiko yang harus diperhatikan, meski legal berdasarkan hukum negara.
Dr. Ari Kusuma Januarto, SpOG, Obginsos, Ketua Bidang Legislasi dan Advokasi Pengurus Besar (PB) IDI mengatakan bahwa aborsi adalah bentuk tindakan medis untuk mengakhiri kehamilan.
"Semua tindakan medis memiliki risiko. Tidak ada tindakan medis yang tidak memiliki risiko. Gunting kuku saja bisa ada risikonya, apalagi tindakan medis yang membutuhkan pembiusan dan segala macam," kata Ari dalam Media Briefing PB IDI pada Jumat (2/8/2024).
Baca juga: PP Kesehatan Legalkan Aborsi, IDI: Tidak Boleh Dilakukan Sembarangan
Dampak aborsi terhadap kesehatan, kata Ari, bisa meliputi terjadinya pendarahan, infeksi, efek pembiusan, serta trauma psikologis pascaaborsi.
Semakin tua usia kehamilan, ia mengatakan, risiko aborsi semakin besar. Menurut IDI, aborsi di usia kehamilan kurang dari 14 minggu, terutama masih dalam 40 hari memiliki risiko yang lebih minimum.
"Usia kehamilan 14 minggu itu janin sudah sekitar 8 sampai 10 cm. Deyut jantungnya sudah terdengar. Jika di USG. sudah ada yang bergerak-gerak," ucapnya.
Jika mengutip National Health Service (NHS), risiko aborsi tidak hanya dipengaruhi oleh usia kehamilan, tetapi juga metodenya, apakah aborsi dilakukan dengan mengonsumsi obat-obatan atau pembedahan.
Baca terus artikel ini untuk mempelajari risiko aborsi berdasarkan metodenya.
Baca juga: Obat Aborsi Kandungan dan Macam Efek Sampingnya
Sebelum 14 minggu kehamilan, risiko utama aborsi dengan konsumsi obat meliputi:
Masuk usia kehamilan 14 minggu lebih, risiko utama aborsi dengan metode ini adalah:
Baca juga: Risiko Aborsi terhadap Kesehatan Reproduksi Wanita
Sebelum 14 minggu kehamilan, risiko utama aborsi bedah adalah:
Setelah 14 minggu kehamilan, risiko utama dari aborsi dengan metode bedah adalah:
Baca juga: Ibu Hamil Pengguna Opioid, Waspadai Neonatal Abstinence Syndrome
Ari menekankan bahwa aborsi tidak bisa serta-merta dilakukan, meski usia kehamilan memiliki risiko yang minimum terhadap kesehatan ibu.
"Dari profesi yang kita jaga adalah untuk melakukan suatu tindakan medis harus sesuai dengan indikasi medis. Kedua, sesuai dengan standar pelayanan yang kita miliki. Ketiga, kita harus jujur bahwa ini perlu digugurin atau tidak," terangnya.
Ia menjelasakan, aborsi bisa dilakukan hanya ketika kondisi kehamilan ibu memiliki kedaruratan medis dan akibat kasus pemerkosaan.
Kedaruratan medis, contohnya telah terjadi pendarahan yang mengancam jiwa ibu hamil dan/atau janin tidak berkembang dalam kandungan.
Di Indonesia, terdapat regulasi baru yang mengatur mengenai aborsi, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang peraturan pelaksaan Undang-undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan.
Baca juga: Sangat Berbahaya, Ini yang Terjadi Jika Ibu Hamil Merokok
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.