Ini mencerminkan gap yang signifikan antara ketersediaan informasi kesehatan dengan aplikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari yang sehat.
Di sisi lain, sistem pendidikan di Indonesia sering kali gagal dalam mengintegrasikan pengetahuan kesehatan ke dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Kurikulum yang ada masih terpaku pada teori dasar dan ujian akademik yang rigid, tanpa menanamkan kebiasaan dan keterampilan hidup sehat sejak dini.
Padahal, menurut studi yang diterbitkan oleh Universitas Indonesia pada 2022, siswa yang diajarkan tentang nutrisi dan olahraga secara praktis cenderung 40 persen lebih aktif secara fisik dan membuat pilihan makanan yang lebih sehat dibandingkan mereka yang hanya mendapatkan teori.
Di rumah, orangtua sering kali terjebak dalam rutinitas padat sehingga lebih memilih makanan siap saji yang praktis, tetapi kurang nutrisi.
Faktor ini juga turut berkontribusi pada tingkat kejadian obesitas pada anak yang terus meningkat setiap tahunnya, dengan data terbaru menunjukkan peningkatan hingga 20 persen dalam lima tahun terakhir.
Meskipun Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan dalam pembangunan infrastruktur kesehatan dengan peningkatan jumlah puskesmas yang mencapai lebih dari 9.800 unit dan rumah sakit yang berjumlah lebih dari 2.800 di seluruh negeri, masalah utama terletak pada distribusi dan aksesibilitas yang tidak merata.
Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan, prevalensi diabetes di Indonesia telah mencapai sekitar 6,2 persen total populasi, sementara hipertensi mencapai hampir 25,8 persen.
Hal ini menunjukkan kesenjangan yang besar antara kebutuhan dan ketersediaan layanan kesehatan preventif, di mana hanya sebagian kecil dari pendanaan kesehatan yang dialokasikan untuk program pencegahan penyakit kronis.
Lebih jauh lagi, struktur biaya yang berfokus pada pengobatan menunjukkan dominasi intervensi medis setelah timbulnya penyakit, daripada pencegahan.
Studi terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen pengeluaran kesehatan di Indonesia adalah untuk pengobatan langsung penyakit kronis dan akut, sedangkan hanya kurang dari 4 persen yang digunakan untuk program pencegahan dan promosi kesehatan.
Kondisi ini mencerminkan paradoks dalam sistem kesehatan di mana sumber daya besar digunakan setelah penyakit berkembang menjadi lebih serius, yang tidak hanya lebih mahal untuk ditangani, tetapi juga lebih sulit untuk diobati.
Konsekuensi dari pendekatan reaktif ini tidak hanya membebani sistem kesehatan, tetapi juga menyebabkan penurunan kualitas hidup individu yang terkena dampaknya.
Kita memerlukan urgensi yang sama untuk pencegahan seperti yang kita berikan untuk pengobatan, agar dapat menerangi jalur menuju kesehatan yang lebih berkelanjutan dan inklusif bagi semua lapisan masyarakat.
Untuk menggairahkan transformasi ini, kunci pertamanya terletak pada pendidikan. Kurikulum sekolah harus mencakup informasi kesehatan yang tidak hanya teoritis, tetapi juga praktis dan relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa.